Bank, Hukum Perbankan, Ultimum remedium |
Dalam hal demikian, maka sesuai dengan asas lex specialis, maka ketentuan pidana dalam Undang-Undang tersebut merupakan delik yang bersifat khusus yang mengesampingkan delik umum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun delik khusus dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang memiliki kedudukan yang lebih umum dibandingkan dengan Undang-Undang a-quo. Sehingga apabila terjadi pelanggaran atas Undang-Undang perpajakan, maka rumusan delik pidana yang diterapkan adalah delik pidana pada Undang-Undang perpajakan, bukan Undang-Undang pemberantasan tindak pidana korupsi, sekalipun terdapat kerugian negara di dalamnya.
Dalam hukum pidana secara umum dikenal pula prinsip ultimum remidium yang menyatakan bahwa pidana merupakan nestapa yang dijatuhkan sebagai sanksi terakhir setelah sanksi-sanksi lain diterapkan, sehingga kedudukan penerapan sanksi pidana merupakan gerbang terakhir manakala sanksi lainnya dipandang tidak dapat memberikan efek jera bagi pelaku.
Prinsip ultimum remidium ini juga dianut dalam Undang-Undang yang bersifat administrative penal law, semisal dalam Undang-Undang perpajakan, dimana aturan dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan mengatur bahwa untuk kesalahan dan kelalaian wajib pajak dalam melaporkan pajak penghasilan terhutangnya, maka wajib pajak dijatuhi sanksi administratif. Baru kemudian setelah penjatuhan sanksi administratif tersebut dilakukan, secara nyata wajib pajak tetap tidak melaporkan dan melunasi pajak penghasilan terhutangnya, maka pidana perpajakan dapat dijatuhkan. Hierarki norma dalam penerapan sanksi dalam Undang-Undang Perpajakan tersebut sangat jelas dan diatur secara terperinci.
Namun demikian, berbeda dengan pengaturan dalam Undang-Undang Perbankan, dimana dalam Pasal 52 Undang-Undang Perbankan hanya disebutkan bahwa penerapan sanksi administratif dan sanksi pidana dapat dilakukan secara bersamaan. Keberadaan Pasal 52 Undang-Undang Perbankan tersebut seakan-akan menghilangkan sifat ultimum remedium dari sanksi pidana. Padahal, apabila kita cermati, semisal ketentuan Pasal 49 ayat (2) huruf b Undang-Undang Perbankan yang mengatur pada pokoknya Anggota Dewan Komisaris, Direksi atau pegawai bank yang dengan sengaja tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam Undang-undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank, diancam dengan pidana penjara. Apabila sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2) huruf b tersebut diterapkan secara serta merta tanpa memandang sanksi administratif, maka dapat dipastikan akan mengakibatkan banyak anggota dewan komisaris, direksi atau pegawai bank terkena sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 49 ayat (2) huruf tersebut.
Salah satunya, apabila Anggota Dewan Komisaris, Direksi atau pegawai bank tidak dapat melaksanakan kegiatan usaha berdasarakan prinsip kehati-hatian dalam rangka menjaga atau meningkatkan Tingkat Kesehatan Bank dan Komisaris dan Direksi Bank wajib memantau dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan agar Tingkat Kesehatan Bank sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/1/PBI/2011 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum yang mengatur:
- Bank wajib memelihara dan/atau meningkatkan Tingkat Kesehatan Bank dengan menerapkan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko dalam melaksanakan kegiatan usaha.
- Dalam rangka melaksanakan tanggung jawab atas kelangsungan usaha Bank, Direksi dan Dewan Komisaris bertanggung jawab untuk memelihara dan memantau Tingkat Kesehatan Bank serta mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk memelihara dan/atau meningkatkan Tingkat Kesehatan Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
- Bank wajib melakukan penilaian tingkat kesehatan dengan menggunakan pendekatan risiko (Risk-based Bank Rating) baik secara individual maupun secara konsolidasi.
Hal tersebut jelas tidak sesuai dengan dasar filosofis dari Undang-Undang Perbankan. Fungsi perbankan berdasarkan undang-undang perbankan di Indonesia adalah sebagai lembaga intermediasi yang berusaha memakmurkan rakyat sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 4 Undang-Undang Perbankan, yakni lembaga yang mengumpulkan dana dari masyarakat dan kemudian menyalurkannya kembali kepada masyarakat. Dalam penyelenggaraan fungsi intermediasi tersebut, bank mendasarkan dirinya pada kepercayaan masyarakat karena tanpa adanya kepercayaan masyarakat, bank tidak dapat menjalankan fungsi/ perannya tersebut. Oleh karena itulah terdapat prinsip kehati-hatian yang menjadi "pagar" bagi bank dalam penyelenggaraan fungsinya untuk mencegah adanya kerugian bagi bank, karena apabila bank mengalami kerugian, maka bank akan kehilangan kepercayaan dari masyarakat dan tidak akan dapat menjalankan fungsinya sebagai lembaga intermediasi secara maksimal.
Hal tersebut menunjukkan bahwa bank sebagai lembaga intermediasi memiliki tujuan profit oriented karena bank dilarang untuk mengalami kerugian. Sehingga pada dasarnya bank merupakan lembaga bisnis. Keberadaan Undang-Undang Perbankan yang mengatur bank sebagai lembaga bisnis sendiri merupakan instrumen hukum yang dibuat oleh negara karena bank merupakan lembaga yang dapat menimbulkan potensi sistemik, tidak hanya pada institusi bank itu sendiri tetapi juga pada perekonomian negara.
Di samping itu, apabila ditafsirkan secara historis, pada dasarnya payung dari Undang-Undang Perbankan dan Undang-Undang Perpajakan berasal dari ranah yang sama, yakni ranah hukum bisnis, sehingga sudah sepatutnya prinsip-prinsip yang ada dalam Undang-Undang Perpajakan, dianut pula dalam Undang-Undang Perbankan. Hanya saja, apabila diruntut dari historis pembentukan Undang-Undang Perbankan yang
merupakan bentukan dari ahli ekonomi dari Amerika Serikat, menyebabkan disharmonisasi dengan ketentuan perundang-undangan di Indonesia.
Sehingga sudah sepatutnya ketentuan Pasal 52 Undang-Undang Perbankan tersebut tidak diartikan secara letterlijk, melainkan ditafsirkan secara sistematis dengan adanya ketentuan Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia yang mengatur hal yang sama dengan delik pidana dalam Undang-Undang Perbankan namun dengan sanksi administratif saja. Dimana kewenangan Bank Indonesia dalam menerbitkan Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia adalah kewenangan atribusi yang berasal dari Pasal 25 Undang-Undang Bank Indonesia yang bersifat specialis dari Undang-Undang Perbankan. Sehingga dapat diartikan bahwa kedudukan Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia merupakan peraturan turunan dari Undang-Undang Bank Indonesia, dimana Undang-Undang Bank Indonesia merupakan undang-undang yang lebih khusus dari Undang-Undang Perbankan, sehingga seharusnya Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia lebih diutamakan daripada Undang-Undang Perbankan.
Dengan demikian, maka sudah sepatutnya apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia atau Surat Edaran Bank Indonesia yang sekaligus juga melanggar ketentuan pidana dalam Undang-Undang Perbankan, sanksi yang pertama kali dijatuhkan adalah sanksi administratif terlebih dahulu, baru kemudian apabila dirasa sanksi administratif kurang memberikan efek jera, maka sanksi pidana dapat dijatuhkan sesuai dengan prinsip ultimum remedium berdasarkan pertimbangan hakim. Dengan kata lain, pidana tidak dapat dijatuhkan sebelum adanya sanksi administratif, namun sanksi administratif dapat dijatuhkan tanpa diteruskan dengan sanksi pidana.
~igp
Tidak ada komentar:
Posting Komentar