Akta PPAT, Akta Notaris, Akta Otentik |
Berdasarkan ketentuan tersebut dapat diketahui dua hal pokok, yakni PPAT adalah pejabat umum dan akta yang dibuat oleh PPAT adalah Akta Otentik. Namun apakah hal tersebut secara yuridis dapat dibenarkan?
Pertama, berkaitan dengan status pejabat umum yang diberikan oleh PP No. 37/1998, secara terminologi, istilah pejabat umum berasal dari Istilah Openbare Ambtenaren, dimana Ambtenaren jika diterjemahkan adalah pejabat dan Openbare adalah umum atau publik. Selanjutnya secara konseptual pihak yang disebut sebagai pejabat adalah pihak yang diangkat oleh pemerintah serta memiliki kewenangan dalam suatu lingkungan pekerjaan yang tetap (karena memangku suatu jabatan) yang berkaitan dengan pelayanan terhadap masyarakat. Sedangkan disebut sebagai pejabat umum karena memiliki kewenangan yang bersifat umum, dalam artian tidak terdapat batasan yang diberikan atas kewenangannya tersebut. Semisal Notaris sebagai pejabat umum yang berwenang untuk membuat semua akta otentik.
Dalam hal ini, kedudukan PPAT yang hanya memiliki kewenangan untuk membuat akta yang berkaitan dengan hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun menunjukkan bahwa kewenangan yang dimiliki oleh PPAT bukan merupakan kewenangan umum, melainkan kewenangan yang bersifat spesifik, yakni terkait dengan hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. Hal ini menimbulkan keraguan pada kedudukan PPAT sebagai pejabat umum apakah dapat dipertanggungjawabkan?
Kedua, berkaitan dengan status akta otentik bagi akta yang dibuat oleh PPAT. Konsep akta otentik berasal dari ketentuan Pasal 1868 Burgelijk Wetboek (BW/ Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) yang menyatakan bahwa "suatu akta otentik adalah suatu akta yang dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta itu dibuat".
Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 1868 BW tersebut ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan akta otentik adalah akta yang dalam bentuk ditentukan oleh undang-undang. Wajar apabila akta notaris mendapatkan status sebagai akta otentik, karena pengaturannya sebagai akta otentik ditegaskan dalam Pasal 38 Undang-Undang Jabatan Notaris. Sedangkan keotentikan akta PPAT diatur hanya dalam Peraturan Pemerintah yang secara hierarki peraturan perundang-undangan berada di bawah undang-undang. Hal tersebut menimbulkan pertanyaan yuridis, apakah kemudian akta PPAT yang dinyatakan sebagai akta otentik oleh PP No. 37/1998 benar-benar merupakan akta otentik, karena pengaturannya hanya didasarkan pada peraturan pemerintah dimana hal tersebut tidak sesuai dengan ketentuan mengenai akta otentik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1868 BW?
Apabila ditafsirkan secara gramatikal atau letterlijk, maka dapat dipastikan bahwa yang dimaksud dengan undang-undang dalam Pasal 1868 BW merupakan undang-undang hasil bentukan badan legislatif, sehingga peraturan pemerintah yang notabenya dibentuk oleh eksekutif tidak termasuk dalam ruang lingkup undang-undang sebagaimana dimaksud dengan Pasal 1868 BW, sehingga akta PPAT bukan merupakan akta otentik.
Namun demikian, dalam beberapa ketentuan BW, terdapat ketentuan yang menyatakan istilah "undang-undang" namun diartikan sebagai "peraturan perundang-undangan", salah satunya dalam Pasal 1337 BW, dimana causa yang diperbolehkan adalah causa yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini apakah ketentuan dalam Pasal 1868 BW diartikan secara luas sebagai peraturan perundang-undangan atau secara limitatif undang-undang, merupakan pertanyaan yang dapat dijawab dengan pengkajian lebih lanjut yakni dengan menilik pada ketentuan awal Pasal 1868 BW dalam bahasa belanda dan konsep awal dari akta otentik itu sendiri yang berasal dari negeri Belanda.
~igp.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar