Rabu, 14 Desember 2016

Dilematis BUMD yang Berbentuk Perseroan Terbatas (PT) dalam Pengelolaan Aset secara Komersial

Konsep Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) semakin berkembang dengan diterimanya konsep otonomi daerah yang memberikan kewenangan bagi daerah untuk mengurus pemerintahannya secara mandiri. Secara yuridis, dalam sejarahnya dikenal 2 (dua) bentuk hukum BUMD yakni Perusahaan Daerah (PD) dan Perseroan Terbatas (PT) sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1999 tentang Bentuk Hukum BUMD (Permendagri No. 3/1999), dimana yang membedakan kedua bentuk hukum BUMD tersebut antara lain:
BUMD, keuangan Daerah, PT


  1. Kepemilikan daerah atas BUMD, yakni 100% dalam PD, sedangkan dalam BUMD yang berbentuk PT minimal sebanyak 51% harus dimiliki oleh Daerah;
  2. BUMD berbentuk PT terbagi atas saham, sedangkan BUMD berbentuk PD tidak terbagi atas saham;
  3. BUMD berbentuk PT tunduk pada ketentuan peraturan perundang-undangan terkait Perseroan Terbatas yang saat itu masih diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, sedangkan BUMD yang berbentuk PD tunduk pada ketentuan perundang-undangan terkait Perusahaan Daerah, diantaranya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah;
  4. BUMD berbentuk PT berorientasi pada kinerja bisnis pemerintah daerah, dalam artian pemerintah daerah melakukan aktivitas bisnis yang bersifat komersial melalui BUMD yang berbentuk PT, sedangkan BUMD yang berbentuk PD lebih ditekankan pada pelaksanaan pelayanan sosial dan pelayanan publik dari pemerintah daerah kepada masyarakat.
Karakteristik BUMD berbentuk PT dan BUMD berbentuk PD itupun saat ini masih diakomodir dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah selanjutnya diundangkan dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2015 tentang Penetapan Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan diubah kembali dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU No. 23/2014 jo. UU No. 2/2015 jo. UU No. 9/2015), yang pada pokoknya mencabut ketentuan Permendagri No. 3/1999.

Apabila merujuk  sejarah dibentuknya BUMD berbentuk PD dan PT tersebut dapat diketahui bahwa secara historis keberadaan BUMD yang berbentuk PT adalah sebagai wahana bagi pemerintah daerah untuk dapat berinvestasi atau berbisnis yang mana dalam pelaksanaan suatu bisnis sendiri selalu berkaitan dengan potensi untung dan potensi rugi. Namun demikian, dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, konsep tersebut tidak dapat serta merta dilaksanakan, karena terdapat rambu-rambu ketentuan peraturan perundang-undangan yang secara tidak langsung mewajibkan BUMD yang berbentuk PT untuk selalu "untung" atau dengan kata lain, BUMD dilarang untuk "rugi", karena kerugian BUMD merupakan kerugian daerah dan kerugian daerah adalah kerugian negara.


Konsep kerugian BUMD sebagai bagian dari kerugian daerah merupakan konsekuensi dari ketentuan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengelolaan keuangan daerah, dimana di dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa keuangan termasuk dalam keuangan  daerah, karena secara normatif terdapat peraturan perundang-undangan yang mengunakan istilah “kekayaan negara yang dipisahkan” untuk menyebut inbreng daerah pada suatu BUMD.

Konsep tersebut pada dasarnya merupakan suatu falacy atau kesesatan namun telah menjadi kebiasaan dan hal yang wajar diterima oleh masyarakat luas, termasuk penyidik dan pengawas BUMD. Apabila secara logis diruntut berdasarkan konsep PT, pada saat pemerintah daerah melakukan inbreng ke dalam BUMD yang berbentuk PT, maka pemerintah daerah berkedudukan sebagai pemegang saham. Dana yang telah di inbreng-kan oleh pemerintah daerah tersebut jelas menjadi aset milik BUMD yang bersangkutan, dan sebagai gantinya, pemerintah daerah selaku pemegang saham memiliki hak untuk memperoleh deviden serta hak suara atas saham yang dimilikinya dari BUMD yang berbentuk PT. Sebagai konsekuensinya, apabila BUMD yang berbentuk PT tersebut mengalami keuntungan, maka keuntungan tersebut juga akan dinikmati oleh pemerintah daerah melalui deviden yang dibagikan setiap akhir tahun dan apabila BUMD yang berbentuk PT tersebut mengalami kerugian, maka kerugian tersebut hanya ditanggung oleh PT, dimana pemerintah daerah selaku pemegang saham tidak menanggung kerugian di luar inbreng yang telah diserahkannya.

Akan tetapi kenyataan yang terjadi saat ini, dengan adanya konsep yang diterima bahwa keuangan BUMD merupakan keuangan Daerah, maka apabila BUMD mengalami kerugian dianggap daerah juga mengalami kerugian, hal ini seharusnya ditindaklanjuti pula apabila BUMD mengalami kerugian, maka untuk menutup kerugian tersebut, pemerintah daerah juga dapat dimintai pertanggungjawaban dari segi keuangan atau yang dalam konsep PT dikenal sebagai piercing the corporate veil. Namun hal ini jelas tidak akan dilakukan, sehingga dengan kata lain pemerintah daerah tidak mau dirugikan dari keuangannya yang dipisahkan dalam BUMD yang berbentuk PT. Hal ini jelas akan menghambat laju bisnis dan perekonomian daerah, dimana pihak-pihak yang menjabat sebagai pengurus BUMD berbentuk PT akan berpikir berulang kali untuk menjalankan aktivitas bisnis, bukan untuk mendapatkan keuntungan yang semaksimal mungkin, namun hanya memikirkan agar bagaimana langkah yang diambil tidak menimbulkan kerugian bagi BUMD berbentuk PT. Hal ini jelas bertentangan dengankonsep bisnis yang selalu berani untuk menerima keuntungan di satu sisi maupun menanggung kerugian di sisi lain. Akan tetapi, selama ketentuan mengenai pengelolaan keuangan daerah tersebut belum direvisi, maka pengelolaan BUMD berbentuk PT yang sejati tidak akan mungkin dapat terealisasi.

~igp

Tidak ada komentar:

Posting Komentar