Selasa, 20 Desember 2016

Kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dalam Menggugurkan Unsur 'Penyalahgunaan Wewenang' Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Terbitnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU No. 30/2014) telah menghadirkan nuansa baru dalam pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan, salah satunya terkait dengan penambahan dan/ atau penegasan kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) untuk menguji ada atau tidak adanya unsur penyalahgunaan wewenang dari keputusan dan/ atau tindakan Badan dan/ atau Pejabat Pemerintahan yang diduga terdapat unsur penyalahgunaan wewenang.
Peradilan Tata Usaha Negara, Korupsi, Penyalahgunaan Wewenang


Sesuai dengan definisi yang diberikan oleh UU No. 30/2014, ruang lingkup penyalahgunaan wewenang itu sendiri meliputi penggunaan wewenang oleh Badan dan/ atau Pejabat Pemerintahan dalam mengambil keputusan dan/ atau tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan yang dilakukan dengan melampaui wewenang, mencampuradukkan wewenang, dan/ atau bertindak sewenang-wenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dan Pasal 18 UU No. 30/2014.

Berkaitan dengan hal tersebut, Mahkamah Agung telah menerbitkan pula Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Informasi Publik di Pengadilan (Perma No. 4/2015) yang substansinya mengatur tentang tata cara pengajuan permohonan pemeriksaan ada atau tidaknya unsur penyalahgunaan wewenang yang diajukan oleh Badan dan/atau Pejabat pemerintahan yang merasa kepentingannya dirugikan oleh hasil pengawasan aparat pengawasan intern pemerintah.

Dalam Perma No. 4/2015 diatur pula bahwa PTUN merupakan pengadilan yang berwenang menerima, memeriksa dan memutus permohonan ada atau tidak ada penyalahgunaan wewenang dalam keputusan dan/ atau tindakan pejabat pemerintahan sebelum adanya proses pidana, dimana PTUN baru berwenang menerima, memeriksa dan memutus permohonan ada atau tidak ada penyalahgunaan wewenang dalam keputusan dan/ atau tindakan pejabat pemerintahan setelah adanya hasil pengawasan aparat pengawasan intern pemerintah. Selanjutnya, diatur pula bahwa permohonan diajukan kepada PTUN yang wilayah hukumnya meliputi tempat kedudukan pejabat pemerintahan yang menerbitkan keputusan dan/ atau melakukan tindakan (kompetensi relatif).

Substansi dari Perma No. 4/2015 tersebut semakin menegaskan bahwa sifat dari hukum pidana merupakan ultimum remedium atau upaya terakhir apabila upaya lainnya tidak memberikan dampak yang baik dalam proses penegakan hukum, termasuk pula dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Akan tetapi, selama ini, praktek penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi, khususnya yang melibatkan pejabat pemerintah selalu menjadi sorotan publik sehingga penegakkannya selalu diselesaikan melalui penegakan hukum pidana walaupun secara faktual tindakan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah tersebut masih tergolong kesalahan administrasi belaka namun pihak penyidik akan menyatakan bahwa kesalahan administrasi tersebut merupakan suatu bentuk tindakan yang melawan hukum, sehingga tindakan seorang pejabat pemerintah dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi yang memenuhi unsur-unsur sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Sejatinya, dengan terbitnya UU No. 30/2014 berikut Perma No. 4/2015 yang memberikan kewenangan bagi PTUN untuk melakukan pengujian terhadap ada atau tidaknya unsur penyalahgunaan wewenang dapat dipergunakan oleh pejabat pemerintah sebagai suatu upaya untuk memperoleh keadilan, dimana apabila terdapat tanda-tanda bahwa pejabat pemerintah yang bersangkutan melakukan suatu pelanggaran administrasi dalam proses penyelenggaraan pemerintahan, maka pejabat pemerintah yang bersangkutan dapat mengajukan permohonan kepada PTUN atas dasar adanya hasil pengawasan internal, sehingga PTUN dapat menilai bahwa tindakan pejabat pemerintah yang bersangkutan merupakan tindakan yang menyalahgunakan wewenang atau tidak.

Hal tersebut menyebabkan berlakunya Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak dapat serta merta diterapkan oleh penyidik dalam hal pejabat yang bersangkutan mengajukan permohonan kepada PTUN untuk menilai ada atau tidaknya penyalahgunaan wewenang, dan apabila terbukti bahwa pejabat yang bersangkutan tidak melakukan penyalahgunaan wewenang, maka pejabat tersebut tidak dapat diperkarakan secara pidana oleh penyidik karena salah satu unsur dari Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yakni unsur penyalahgunaan wewenang telah digugurkan oleh PTUN.

~igp

Tidak ada komentar:

Posting Komentar