Selasa, 23 Juni 2020

Kewajiban Mengangkat Tangan (Hormat) Bendera Siswa Siswi Penganut Kepercayaan Kristen Saksi-Saksi Yehova

Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Samarinda Nomor 07/G/2019/PTUN.SMD, tanggal 8 Agustus 2019 dalam sengketa antara Maria Denisia Tunbonat, Yosua Imanuel Tunbonat dan Yonatan Tunbonat melawan Kepala Sekolah dasar negeri 051 Tarakan dengan Objek Sengketa berupa Surat Keputusan Pemberhentian Nomor 420/173/SDN051 Tanggal 15 Desember 2018, dengan salah satu amar putusan membatalkan Objek Sengketa karena bertentangan dengan hak asasi manusia, yakni hak memperoleh pendidikan dan hak untuk beragama dan berkeyakinan jelas sungguh mengagetkan.

Siswi tersebut dikeluarkan oleh sekolah (melalui penerbitan Objek Sengketa) lantaran tidak bersedia untuk mengangkat tangan (hormat) kepada bendera pada saat upacara bendera, atas dasar keyakinan dan kepercayaan Kristen Saksi-Saksi Yehova.

Dalam gugatannya, Penggugat mendalilkan bahwa tidak terdapat kewajiban untuk mengangkat tangan kepada bendera dalam peraturan perundang-undangan dimana dalam ketentuan Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan (UU No. 24/2009) menyatakan bahwa,

Pada waktu penaikan atau penurunan Bendera negara, semua orang yang hadir memberi hormat dengan berdiri tegak dan khidmat sambil menghadapkan muka pada Bendera Negara sampai penaikan atau penurunan Bendera Negara selesai.

 


Pembatasan Hak Fundamental Akses Menuju Keadilan (Access to Justice) dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2019 tentang Gugatan Sederhana


Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015 tentang Gugatan Sederhana sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015 tentang Gugatan Sederhana (Perma No. 4/2019) secara faktual  telah mengatur pembatasan upaya hukum yang dapat diajukan oleh pihak yang merasa dirugikan atas tindakan pihak lain, baik tindakan pelanggaran kontrak maupun tindakan hukum, yang nilai tuntutan materiil nya tidak lebih dari Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah).

Terhadap gugatan tersebut, tergolong dalam Gugatan Sederhana (dengan memenuhi syarat-syarat lain sebagaimana diatur dalam Perma No. 4/2019) yang harus diselesaikan melalui prosedur sederhana, yakni diperiksa dan diputus selambat-lambatnya 25 Hari sejak Hari sidang pertama, dengan Hakim tunggal dan hanya Ada Gugatan serta jawaban tanpa ada proses jawab jinawab. Selain itu seluruh bukti diajukan pada saat Gugatan diajukan dan jumlah Penggugat dan Tergugat masing-masing tidak lebih dari satu orang kecuali dengan kepentingan yang sama dan dengan domisili hukum yang sama antara Penggugat atau kuasa Penggugat dan Tergugat.


Klausul Akibat Pengakhiran Perjanjian yang Kerap Luput dari Perhatian

Sebagaimana diutarakan oleh Prof. Sogar Simamora, bahwa kontrak adalah suatu proses yang pembentukannya melibatkan 3 (tiga) tahap, yakni pre-contractual, contractual Dan post-contractual.

Pada tahap pre-contractual, berlaku norma syarat keabsahan perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 BW, yakni syarat subjektif terkait sepakat dan cakap, serta syarat objektif terkait objek dan causa yang diperbolehkan.

Selanjutnya pada tahap contractual berlaku teori-teori pembentukan kesepakatan, yang dalam perkembangannya terbagi dalam 4 (empat) teori, yakni teori pernyataan, teori pengiriman, teori penerimaan dan teori pengetahuan. Negara penganut civil law system condong menerapkan teori penerimaan, sekalipun terdapat peluang pihak yang memberikan penawaran tidak membaca akseptasi tersebut, namun risiko ditanggung oleh pihak yang memberikan penawaran. Sedangkan negara common Law lebih menerapkan teori pengiriman, mengingat pihak yang memberikan penawaran sepatutnya mengetahui bahwa pihak yang memberikan akseptasi akan mengirimkan jawaban akseptasinya melalui Surat pos.