Rabu, 30 Maret 2016

Kekosongan Hukum Atas Status Bangunan Pihak Lain di Atas Tanah Hak Pengelolaan Setelah Habisnya Jangka Waktu Hak Guna Bangunan di Atas Hak Pengelolaan

Tidak dapat dipungkiri bahwa tanah merupakan aset yang semakin bertambah nilainya seiring dengan bertambahnya waktu. Hal tersebut menyebabkan banyak masyarakat yang berupaya memperoleh tanah untuk dijadikan lahan berinvestasi bagi masa depannya beserta keturunannya. Nilai ekonomis dari tanah ini di satu sisi memberikan keuntungan dalam berinvestasi, namun di sisi lainnya menimbulkan kesulitan-kesulitan dan problematika, khususnya di bidang hukum.
Sebagaimana kita ketahui bahwa aturan pokok dalam hukum pertanahan masih didasarkan pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang mana undang-undang tersebut dapat dikatakan sebagai undang-undang yang sudah 'berumur'. Sedangkan di sisi lain tuntutan masyarakat terhadap hukum yang melindungi hak-hak masyarakat, khususnya hak-hak atas tanah semakin meningkat. Hal tersebut terkadang menimbulkan permasalahan hukum, khususnya permasalahan terkait kekosongan Hukum, dimana hukum tidak dapat merespon perkembangan masyarakat dengan baik. Salah satunya dapat diamati dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan ini. 

Hak Pengelolaan

Selasa, 29 Maret 2016

Rekonseptualisasi Syarat Poligini oleh Suami Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Poligini atau yang dalam praktik masyarakat lebih dikenal dengan istilah poligami pada dasarnya merupakan dua istilah yang berbeda. Poligami merupakan istilah yang merujuk pada perkawinan dengan lebih dari seorang lawan kawin. Sedangkan istilah poligini digunakan terhadap perkawinan seorang laki-laki (pria) dengan lebih dari seorang wanita, dan istilah yang digunakan untuk merujuk pada perkawinan yang dilakukan oleh seorang wanita dengan lebih dari seorang laki-laki (pria) diistilahkan dengan poliandri.

Di Indonesia, prinsip keagamaan sangatlah kental dalamn pelaksanaan perkawinan. Hal tersebut tercermin dalam ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mendefinisikan perkawinan sebagai "ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". Lebih lanjut lagi dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ditegaskan pula bahwa "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu".
Hukum Perkawinan

Penerapan Forum Rei Sitae dalam Gugatan Berdasarkan Perbuatan Melanggar Hukum

Abstract
Forum rei sitae is an embodiment of the jurisdiction in rem, that is the state control over fixed objects or immovable property which is located in the state’s territory. It has became a habit and jurisprudence in Indonesia that the lawsuit based on tort concerning a dispute over fixed objects, such as land and buildings, submitted to the court whose jurisdiction covers the location of immovable property, based on forum rei sitae as stipulated in Article 118 paragraph (3) Het Herziene Inlandsh Reglement (HIR). However, the truth of that customs and jurisprudence is still questionable. For this reason, this paper seeks to elaborate on whether the forum rei sitae may be applied in a lawsuit based on tort, using statute approach, conceptual approach and take some decision of the judiciary from Indonesian and foreign to strengthen the argument of this paper. Lawsuit based on tort is lead to jurisdiction in personam, while forum rei sitae used in jurisdiction in rem; therefore, the application of forum rei sitae in lawsuit based on tort cannot be justified.
Kompetensi Relatif

Senin, 28 Maret 2016

Antinomi Keadilan dan Kepastian Hukum Sebagai Tujuan dari Hukum, Benarkah? Sustainability Sebagai Tujuan Hukum yang Utama

Perdebatan mengenai tujuan utama dari hukum sudah menjadi perbincangan yang mendasar dan kerap diperdebatkan antar satu sarjana dan sarjana lainnya. Tiga tujuan utama hukum yakni keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan dipandang sebagai tiga tujuan yang saling mengalahkan atau mengesampingkan, khususnya tujuan keadilan dan kepastian hukum. Benarkah hal tersebut?

Pandangan yang menyatakan bahwa terdapat antinomi antara keadilan dan kepastian hukum umumnya berdasar pada pandangan bahwa kepastian hukum hanya dapat ditegakkan apabila hukum positif benar-benar diterapkan. Sedangkan nilai-nilai keadilan tidak hanya memandang hukum positif saja sebagai dasar penderaan terhadap pihak yang bersalah, melainkan juga mempertimbangkan nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai luhur manusia. Cobalah kita amati praktik hukum di sekitar kita, dimana seorang pencuri sandal dihukum 4 tahun penjara, sedangkan seorang koruptor yang mencuri milyaran bahkan triliyunan uang negara hanya dihukum selama 1 tahun penjara. Adilkah hal tersebut?
Antinomi Keadilan dan Kepastian Hukum Sebagai Tujuan dari Hukum
Dewi Keadilan



Rekonseptualisasi Tuntutan Ganti Rugi Atas Tindak Pidana Pencucian Uang yang Berasal dari Tindak Pidana Umum (KUHP)

Sebagaimana kita ketahui bahwa tindak pidana pencucian uang merupakan suatu kelanjutan dari tindak pidana awal, baik itu yang berasal dari tindak pidana umum sebagaimana diatur dalam KUHP maupun tindak pidana khusus seperti narkotika dan korupsi.
pencucian uang, tindak pidana, money loundry

Minggu, 27 Maret 2016

Penyelenggaraan Parkir dan Kewajiban Asuransi oleh Penyelenggara Parkir di Surabaya

Penyelenggaraan Parkir dan Kewajiban Asuransi oleh Penyelenggara Parkir di Surabaya
Parking
Kewajiban pemberian asuransi terhadap kehilangan kendaraan oleh penyelenggara tempat parkir di Surabaya diatur dalam Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Perparkiran dan Retribusi Parkir. Dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Perparkiran dan Retribusi Parkir tersebut diatur bahwa,
"Penyelenggara tempat parkir oleh orang atau badan wajib mengasuransikan terhadap kehilangan kendaraan". Lebih lanjut lagi dalam ayat (3) Pasal a-quo ditegaskan bahwa " Dalam hal penyelenggara tempat parkir tidak mengasuransikan terhadap kehilangan kendaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, maka penyelenggara parkir bertanggung jawab penuh dan wajib mengganti kehilangan kendaraan dimaksud ".

Hukum dan Masyarakat

Hukum dan Masyarakat
Hukum dan Masyarakat

Pemikiran dan pemahaman hukum telah dimulai sejak dikenalnya kelompok (lebih dari seorang manusia) yang diistilahkan dengan 'masyarakat'. Suatu adagium dalam hukum yang dikenal bahkan menyatakan bahwa ubi societas ibi ius yang berarti dimana ada masyarakat, maka di situ pula ada hukum. Hukum dan masyarakat tak ubahnya dengan sekeping mata uang yang tidak terpisahkan. Hukum dalam hal ini tidak hanya dimaksudkan pada istilah 'hukum' yang digunakan dalam aliran legisme, yakni hukum dalam arti hukum positif atau hukum yang diundangkan atau dilembagakan oleh instansi yang berwenang saja, melainkan hukum dalam artian yang luas, yakni seperangkat aturan positif yang tertulis dan seperangkat aturan tidak tertulis lainnya yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat, di antaranya aturan adat, aturan islam, aturan kesopanan, dan aturan kesusilaan.