Perdebatan mengenai tujuan utama dari hukum sudah menjadi perbincangan yang mendasar dan kerap diperdebatkan antar satu sarjana dan sarjana lainnya. Tiga tujuan utama hukum yakni keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan dipandang sebagai tiga tujuan yang saling mengalahkan atau mengesampingkan, khususnya tujuan keadilan dan kepastian hukum. Benarkah hal tersebut?
Pandangan yang menyatakan bahwa terdapat antinomi antara keadilan dan kepastian hukum umumnya berdasar pada pandangan bahwa kepastian hukum hanya dapat ditegakkan apabila hukum positif benar-benar diterapkan. Sedangkan nilai-nilai keadilan tidak hanya memandang hukum positif saja sebagai dasar penderaan terhadap pihak yang bersalah, melainkan juga mempertimbangkan nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai luhur manusia. Cobalah kita amati praktik hukum di sekitar kita, dimana seorang pencuri sandal dihukum 4 tahun penjara, sedangkan seorang koruptor yang mencuri milyaran bahkan triliyunan uang negara hanya dihukum selama 1 tahun penjara. Adilkah hal tersebut?
Dewi Keadilan |
Dari sudut pandang kepastian hukum, maka alasan di balik perbuatan melawan hukum tersebut tidak akan diindahkan, apakah pencuri sandal tersebut membutuhkan makanan untuk hidupnya ataukah keadaan- keadaan lainnya. Kepastian hukum hanya menilik pada keadaan bahwa seseorang bersalah berdasarkan aturan hukum positif, maka ia patut dipersalahkan, apakah ia seorang pencuri sandal sekalipun maupun seorang koruptor. Sedangkan takaran berat ringannya hukuman bagi pencuri atau koruptor tersebut digantungkan pada penilaian dari hakim.
Berbeda dari sudut pandang keadilan, maka keadilan akan memandang peristiwa tersebut tidak adil, terutama bagi si pencuri sandal, dimana nilai objek yang dicuri tidak sebanding dengan hukuman yang harus dia pikul.
Hal inilah yang kerap dijadikan dasar bagi sarjana dalam menafsirkan adanya antinomi antara kepastian hukum dan keadilan.
Saya pribadi berpendapat bahwa ajaran mengenai adanya antinomi antara kepastian hukum dan keadilan adalah suatu pandangan yang sesat, karena pandangan tersebut menjadi suatu dasar atau legitimasi bagi seorang hakim maupun penegak hukum lainnya untuk menimbang-nimbang dan memilih-milih akan menegakkan kepastian hukum atau memilih untuk menegakkan keadilan, sedangakn hakim atau penegak hukum tersebut justru tidak menegakkan hukum itu sendiri atas dasar adanya antinomi ini, melainkan oknum-oknum tersebut akan membuat suatu reason atau alasan yang bisa jadi mengada-ada untuk melegalkan keputusan yang dibuatnya.
Ambillah contoh, seseorang membunuh orang lain, dimana pembunuhan tersebut dilegalkan berdasarkan hukum masyarakat daerah tersebut. Sebagai hakim yang seharusnya menegakkan hukum, dimana hukum memandang perbuatan pembunuhan merupakan perbuatan melawan hukum dan sudah sepatutnya pelaku pembunuhan tersebut dihukum. Dalam keadaan ini, apabila seorang hakim berpedoman pada adanya antinomi dari kepastian hukum dan keadilan, maka ia akan mencari berbagai alasan atas dasar adanya hukum adat masyarakat setempat yang memandang pembunuhan tersebut bukan suatu tindak pidana. Hal tersebut justru menimbulkan potensi adanya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang menjadikan hakim dapat ber-'negosiasi' dengan terdakwa, mengenai seberapa besar ia dapat memberikan 'bingkisan' bagi hakim agar dapat meringankan hukumannya atas dasar keadilan dan mengesampingkan kepastian hukum itu sendiri. Atau hakim juga dapat ber-'negosiasi' dengan keluarga korban agar dapat memberatkan hukuman terdakwa atas dasar kepastian hukum dan mengesampingkan keadilan.
Oleh karenanya, tidaklah tepat pandangan bahwa terdapat konflik antara tujuan kepastian hukum dan kemanfaatan. Karena, sejatinya dapat dipahami bahwa setiap aturan hukum
harus mengandung nilai kemanfaatan untuk mengabdi pada nilai kepastian hukum
yang kemudian diabdikan pula pada nilai keadilan, karena hukum yang memberikan
kepastian adalah hukum yang mengandung muatan keadilan.Dengan kata lain, nilai keadilan adalah nilai dasar yang tertinggi. Akan
tetapi, tidak berhenti sampai di situ saja, nilai keadilan tersebut juga harus
dapat diabdikan untuk memelihara keutuhan (sustainability),
barulah nilai keadilan tersebut benar-benar memberikan dan menjamin tercapainya
keadilan.
Sehingga dapat diketahui bahwa tujuan hukum yang paling kecil tingkatannya adalah tujuan kemanfaatan, kemudian tujuan kepastian hukum, tujuan keadilan dan tujuan keutuhan (sustainability) sebagai tujuan hukum yang utama. Dengan adanya keutuhan dari pelaksanaan sistem hukum itu, maka hukum akan membawa kemanfaatan bagi masyarakat dan begitu untuk seterusnya. Hal inilah yang diistilahkan dengan lingkaran tujuan hukum.
Inspirasi diperoleh dari Hayyan Ul Haq
~igp
Tidak ada komentar:
Posting Komentar