Rabu, 30 Maret 2016

Kekosongan Hukum Atas Status Bangunan Pihak Lain di Atas Tanah Hak Pengelolaan Setelah Habisnya Jangka Waktu Hak Guna Bangunan di Atas Hak Pengelolaan

Tidak dapat dipungkiri bahwa tanah merupakan aset yang semakin bertambah nilainya seiring dengan bertambahnya waktu. Hal tersebut menyebabkan banyak masyarakat yang berupaya memperoleh tanah untuk dijadikan lahan berinvestasi bagi masa depannya beserta keturunannya. Nilai ekonomis dari tanah ini di satu sisi memberikan keuntungan dalam berinvestasi, namun di sisi lainnya menimbulkan kesulitan-kesulitan dan problematika, khususnya di bidang hukum.
Sebagaimana kita ketahui bahwa aturan pokok dalam hukum pertanahan masih didasarkan pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang mana undang-undang tersebut dapat dikatakan sebagai undang-undang yang sudah 'berumur'. Sedangkan di sisi lain tuntutan masyarakat terhadap hukum yang melindungi hak-hak masyarakat, khususnya hak-hak atas tanah semakin meningkat. Hal tersebut terkadang menimbulkan permasalahan hukum, khususnya permasalahan terkait kekosongan Hukum, dimana hukum tidak dapat merespon perkembangan masyarakat dengan baik. Salah satunya dapat diamati dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan ini. 

Hak Pengelolaan

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria telah menggariskan ruang lingkup hak atas tanah sebagaimana diuraikan dalam Pasal 16, yakni hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan dan hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam Pasal 53.

Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria sendiri mengatur bahwa "Hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf f, ialah hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian diatur untuk membatasi sifat-sifatnya yang bertentangan dengan undang-undang ini dan hak-hak tersebut diusahakan hapusnya di dalam waktu yang singkat".

Bahwa dalam praktiknya, hak-hak lain yang diatur di luar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria tersebut adalah Hak Pengelolaan sebagaimana dimaksud peraturan perundang-undangan berikut:
  1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan;
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah;
  3. Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965 tentang Pelaksanaan Konversi Hak Penguasaan Atas tanah Negara dan Ketentuan-Ketentuan tentang Kebijaksanaan Selanjutnya;
  4. Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.
Namun pengaturan demikian bukan merupakan bentuk pengaturan yang dimaksud dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agrari, dimana seharusnya hak atas tanah baru di luar hak-hak atas tanah yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, diundangkan dalam undang-undang tersendiri yang mengatur khusus mengenai hak atas tanah yang baru tersebut. Namun demikian, munculnya Hak Pengelolaan ini tidak didasarkan atas undang-undang tersendiri. Hal tersebutlah yang menyebabkan beberapa sarjana menganggap bahwa Hak Pengelolaan bukan merupakan hak atas tanah, selain adanya alasan bahwa sifat-sifat dari Hak Pengelolaan yang berbeda dengan hak atas tanah pada umumnya, dimana Hak Pengelolaan merupakan suatu pelimpahan kewenangan pengelolaan hak atas tanah dari negara.
Lebih jauh lagi, ketentuan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang menyatakan bahwa hak-hak atas tanah dalam Pasal 53 akan dihapuskan, namun dalam praktiknya, sampai dengan saat ini hak-hak atas tanah yang akan dihapuskan tersebut masih tetap ada di dalam masyarakat.
Berkaitan dengan Hak Pengelolaan, saat ini terdapat banyak proyek pemerintah dalam rangka pemanfaatan aset milik daerah berupa tanah berstatus Hak Pengelolaan untuk mendirikan apartemen atau yang dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia dikenal dengan istilah rumah susun. Pendirian rumah susun di atas Hak Pengelolaan tersebut, berdasarkan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun mengatur bahwa rumah susun dapat dibangun di atas tanah hak milik, hak guna bangunan atau hak pakai atas tanah negara; dan hak guna bangunan atau hak pakai di atas hak pengelolaan, tidak dapat didirikan secara langsung di atas tanah Hak Pengelolaan. Namun demikian, berdasarkan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, maka di atas tanah Hak Pengelolaan sebagai barang milik negara/ daerah dapat didirikan rumah susun dengan cara sewa dan sebagai alat bukti haknya diterbitkan Surat Kepemilikan Bangunan Gedung (SKBG) Sarusun. SKBG tersebut berbeda dengan Sertipikat Hak Milik atas Satuan Rumah Susun (SHMSRS), dimana dalam SKBG tidak mencakup kepemilikan atas tanah bersama.
Umumnya pendirian rumah susun di atas aset milik negara/ daerah berupa tanah dengan status Hak Pengelolaan diselenggarakan dengan jalan kerjasama dengan pihak ketiga yang memiliki biaya untuk membangun rumah susun tersebut. Kerjasama pemerintah dengan pihak ketiga tersebut umumnya dibuat dengan sistem bangun guna serah (Build Operate Transfer) atau bangun serah guna (Build Transfer Operate) sebagaimana diakomodir dalam tata cara pemanfaatan barang milik negara/ daerah sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/ Daerah.
Dalam pelaksanaan kerjasama dengan sistem BOT/ BTO tersebut, maka pihak ketiga mendapatkan hak untuk menerbitkan Hak Guna Bangunan di atas Hak Pengelolaan milik pemerintah. Hal tersebut sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 22 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah yang menyatakan bahwa, "Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk berdasarkan usul pemegang Hak Pengelolaan". Kemudian, dalam skema BTO/ BOT, maka pada akhir masa kerjasama, pihak ketiga wajib menyerahkan bangunan rumah susun yang ada di atas tanah Hak Pengelolaan milik negara/ daerah.
Namun berkaitan dengan hal tersebut, timbul permasalahan apabila kerjasama antara negara/ daerah dengan pihak ketiga tersebut tidak dilaksanakan dalam sistem BOT/ BTO, melainkan dalam sistem lain, misalnya dengan sistem sewa atau melalui Perjanjian Pemanfaatan Tanah (PPT), dimana dalam sistem sewa atau PPT, penyerahan bangunan di atas tanah Hak Guna Bangunan di atas Hak Pengelolaan setelah jangka waktu perjanjian tidak terjadi secara otomatis. Lantas bagaimana nasib dengan bangunan tersebut setalah berakhirnya jangka waktu perjanjian kerjasama apabila dalam perjanjian sewa atau PPT antara pemegang Hak Pengelolaan dan Hak Guna Bangunan tidak disepakati perihal kepemilikan dari bangunan yang bersangkutan.
Secara yuridis, berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang menganut hukum adat, dimana hukum adat mengenal adanya pemisahan horizontal, yakni pemilik tanah tidak selalu berkedudukan pula sebagai pemilik bangunan atau dengan kata lain tanah dan bangunan di atasnya dapat dimiliki oleh pihak yang berbeda, maka terhadap situasi tersebut, bangunan yang didirikan oleh pihak ketiga sebagai pemegang Hak Guna Bangunan di atas Hak Pengelolaan yang telah habis jangka wakunya akan tetap menjadi milik dari pihak tersebut. Hal ini jelas merugikan bagi pemegang Hak Pengelolaan dimana oleh karena adanya bangunan di atas tanah Hak Pengelolaannya, menyebabkan pemegang Hak Pengelolaan tidak dapat menggunakan tanah tersebut untuk keperluan lain.
Dalam hal ini, peraturan perundang-undangan, khususnya Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah hanya mengakomodir ketentuan terkait status bangunan yang ada di atas tanah Hak Guna Bangunan murni atau tanah Hak Guna Bangunan atas tanah negara, sebagaimana tercantum dalam Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah berikut:
  1. Apabila Hak Guna Bangunan atas tanah Negara hapus dan tidak diperpanjang atau tidak diperbaharui, maka bekas pemegang Hak Guna Bangunan wajib membongkar bangunan dan benda-benda yang ada di atasnya dan menyerahkan tanahnya kepada Negara dalam keadaan kosong selambat-lambatnya dalam waktu satu tahun sejak hapusnya Hak Guna Bangunan. 
  2. Dalam hal bangunan dan benda-benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masih diperlukan, maka bekas pemegang hak diberikan ganti rugi yang bentuk dan jumlahnya diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden. 
  3. Pembongkaran bangunan dan benda-benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan atas biaya bekas pemegang Hak Guna Bangunan
  4.  Jika bekas pemegang Hak Guna Bangunan lalai dalam memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka bangunan dan benda-benda yang ada di atas tanah bekas Hak Guna Bangunan itu dibongkar oleh Pemerintah atas biaya bekas pemegang Hak Guna Bangunan.
Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa pemilik bangunan wajib membongkar bangunannya pada saat Hak Guna Bangunan di atas tanah negara yang dimilikinya telah berakhir jangka waktunya.
Namun terkait dengan status bangunan yang ada di atas tanah Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan, Pasal 38 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah hanya mengatur bahwa, "Apabila Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan atau atas tanah Hak Milik hapus sebagaimana dimaksud Pasal 35, maka bekas pemegang Hak Guna Bangunan wajib menyerahkan tanahnya kepada pemegang Hak Pengelolaan atau pemegang Hak Milik dan memenuhi ketentuan yang sudah disepakati dalam perjanjian penggunaan tanah Hak Pengelolaan atau perjanjian pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik".
Ketentuan Pasal 38 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah tersebut hanya mengakomodir mengenai kewajiban pemegang Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan untuk menyerahkan tanah saja, sedangkan terkait dengan bangunan yang ada di atasnya tidak diatur secara terperinci. Layaknya pembentuk peraturan perundang-undangan menyerahkan sepenuhnya kepada para pihak untuk mengatur mengenai status bangunan tersebut pada saat berakhirnya Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Pengelolaan dalam perjanjian kerjasama yang ditandatangani oleh para pihak.
 
Sehingga terhadap permasalahan mengenai kepemilikan bangunan oleh pihak lain di atas tanah Hak Pengelolaan hanya dapat diantisipatif dengan klausul perjanjian yang mengatur mengenai kepemilikan bangunan ketika jangka waktu kerjasama atau jangka waktu Hak Guna Bangunan di atas Hak Pengelolaan telah berakhir. Namun apabila dalam perjanjian tersebut tidak disepakati oleh para pihak terkait kepemilikan bangunan, maka hal ini akan menimbulkan dispute mengingat ketentuan peraturan perundang-undangan tidak mengakomodir mengenai hal tersebut atau dengan kata lain terdapat kekosongan hukum yang terjadi.

~igp

12 komentar:

  1. Emmmm... kalau diatas HGB yg brdiri di atas HPL ada strata titlenya gmn ya penyelesaiannya jika HGB nya abiz dan tdk dpt persetujuan dari pemegang HPL trkait perpanjangan HGBnya ? Tolong dong mbak, mau dibuat bahan seminar..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bapak Nizar Fikkri yang terhormat, terima kasih telah menyisihkan waktu untuk bertanya di blog saya, :)

      Dalam hal ini saya berasumsi bahwa yang dimaksud dengan stara title oleh Bapak Nizar adalah satuan rumah susun dengan SHMSRS, bukan SKBG sebagaimana konsep kepemilikan bangunan bersama di atas aset pemerintah saja.

      Sebagaimana telah saya uraikan bahwa secara preventif hal tersebut dapat diselesaikan berdasarkan kesepakatan para pihak, dimana pada saat developer memasarkan satuan rumah susun tersebut, terdapat pemberitahuan bagi calon pembeli sebagai konsumen bahwa satuan rumah susun tersebut berdiri di atas HGB atas HPL yang berjangka waktu dan terdapat risiko bahwa HGB tersebut tidak dapat diperpanjang apabila pemegang HPL tidak memberikan izinnya.

      Dalam hal pemegang HPL tidak memberikan izin perpanjangan HGB, pada dasarnya hal tersebut merupakan kewenangan mutlak dari pemegang HPL, sehingga pemegang SHMSRS tidak dapat mengajukan tuntutan kepada pemegang HPL.

      Langkah represif yang dapat dilakukan oleh pemegang SHMSRS adalah dengan mengajukan tuntutan selaku konsumen yang dirugikan kepada developer atas keterangan yang tidak lengkap pada saat satuan rumah susun tersebut dipasarkan dan diperjualbelikan kepadanya.

      Semoga bermanfaat.

      Hapus
  2. sya sangat sependapat dgn tulisan anda, dan kebetulan saya juga sedang menangani permsalahan ini di kota surabaya terkait HGB diatas HPL, HGB nya telah berakhir, namun pemegang HGB tidak diketahui keberadaannya (menghilang), apakah thdp bangunan yg pemiliknya tdk diketahui ini,thdp bangunannya dapat dibeli oleh pemegang HPL dgn dinilai terlebih dahulu oleh appraisal,kemudian brdsarkan hasil penilaian dri appraisal dilakukan pembayaran melalui penitipan (konsinyasi) di pengadilan negeri? mohon pencerahannya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salam, terima kasih telah menyisihkan waktu untuk berdiskusi di blog saya.. :)

      Terhadap permasalahan ini, meningat PP No. 40/1996 tidak mengatur secara rinci, melainkan mengembalikan kepada perjanjian yang telah disepakati antara para pihak, maka pertama-tama perlu ditinjau terlebih dahulu dalam Perjanjian Penggunaan Hak Pengelolaan yang telah dibuat sebelumnya oleh pemegang HPL dan pemegang HGB, apakah di dalam perjanjian tersebut diatur mengenai status bangunan setelah berakhirnya jangka waktu HGB?

      Hal ini mengingat sistem hukum pertanahan kita yang menganut hukum adat dengan asas pemisahn horizontalnya, sehingga tidak serta merta pemilik tanah mendapatkan hak atas bangunan yang ada di atasnya.

      Apabila ketentuan tersebut tidak ditemukan dalam Perjanjian Penggunaan Tanah, maka kita kembalikan kepada ketentuan Pasal 1339 BW yang mengatur bahwa dalam suatu Perjanjian tidak hanya mengikat apa yang ditentukan di dalamnya, melainkan juga segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan dapat dituntut berdasarkan keadilan, kebiasaan ataupun undang-undang. Merujuk pada ketentuan Pasal 1339 BW tersebut dapat diketahui bahwa di luar hal-hal yang diatur dalam Perjanjian Penggunaan tanah, pada dasarnya terdapat hal-hal lain yang mengikat para pihaknya, di antaranya kebiasaan, undang-undang dan keadilan.

      Berkaitan dengan hal tersebut, ketentuan dalam Pasal 603 BW telah menggariskan bahwa apabila seseorang dengan itikad baik melakukan pembangunan dengan bahan-bahan yang ia sediakan sendiri di atas tanah milik pihak lain, maka pemilik tanah berhak untuk memilih salah satu diantara dua opsi berikut:
      a. menuntut pembongkaran bangunan dengan biaya pihak yang melakukan pembangunan; atau
      b. memiliki bangunan tersebut dengan melakukan pembayaran sejumlah uang senilai harga bahan yang digunakan oleh pihak yang melakukan pembangunan.

      Merujuk pada ketentuan Pasal 603 BW tersebut (yang secara implisit dianggap tercantum pula dalam Perjanjian Penggunaan tanah), maka terhadap kasus Saudara, pemegang HPL berhak untuk mengajukan pembelian atas bangunan yang berdiri di atas tanahnya tersebut. Demi mencapai keadilan, maka langkah-langkah yang saudara jabarkan telah mencakup pemberian rasa keadilan bagi para pihak, yakni penilaian dilakukan olehh appraisal, dan kemudian pembayaran dilakukan melalui konsinyasi (namun perlu ditegaskan kembali keberadaan pemilik bangunan yang tidak diketahui, melalui lembaga keadaan tidak hadir (afwezigheid) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 463 BW dengan jalan mengajukan permohonan kepada Pengadilan Setempat untuk menyatakan orang tersebut tidak dapat diketemukan dengan memenuhi syarat-syarat sebagaimana diatur dalam pasal tersebut).

      Namun demikian, dapat pula diambil langkah hukum lain yang lebih mudah dan lebih cepat, yakni mengajukan gugatan perdata ke pengadilan dengan mencantumkan petitum untuk membeli bangunan tersebut. Nantinya pengadilan melalui putusan verstek yang akan memerintahkan kepada Saudara untuk melakukan pembayaran. Untuk informasi lebih lanjut, Saudara dapat menghubungi kami di http://www.kjdlawfirm.com/.

      Sebagai tambahan informasi, keberadaan Pasal 603 BW ini pada hakikatnya merupakan suatu bentuk pembatasan asas accesie/ perlekatan sebagaimana diatur dalam Pasal 517 BW. Pembatasan yang diberikan pembentuk undang-undang dalam ketentuan Pasal 603 BW ini bertujuan untuk meminimalisir tindakan pengayaan tidak adil/ tindakan menguntungkan diri sendiri (ongerechtvaardigde verrijking) atau yang dikenal di negara-negara common law system dengan tindakan unjust enrichment. Berkaitan dengan tindakan unjust enrichment sendiri, saat ini masih belum begitu dikenal di Indonesia, dan sedang menjadi topik penelitian yang sedang saya lakukan dengan salah seorang dosen di universitas di Surabaya.

      Semoga jawaban ini dapat memberikan sedikit pencerahan. Terima kasih.

      Hapus
  3. Sy sedang menangani masalah di kalimantan utara,yaitu salah satu BUMN yang mempunyai HGB diatas tanah negara dengan Luas ±29.400 M² yg terdiri dari beberapa bangunan dan sebagian besar merupakan tanah kosong, kemuadian tanah kosong tersebut dihuni/ditempati oleh masyarakat dalam jangka waktu yg cukup lama (lebih dari 10 tahun), pada tahun 2011 hgb tsb telag berakhir dan tidak diperpanjang.
    Bagaimana status masyarakat yg menempati tanah tsb? Apakah bisa langsung dimiliki oleh masyarakat?, karena berdasarkan pp 40 1996 pasal 36 bahwa tanah dikembalikan kepada Negara.
    Mohon petunjuk dannarahannya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Maaf jika pertanyaan saudara baru saya jawab.

      Perkara yang saudara uraikan berkaitan dengan hak prioritas. Siapa yang memiliki hak prioritas untuk melakukan pendaftaran hak atas tanah tersebut, apakah pemegang hak yang lama atau pihak yang secara faktual menempati tanah tersebut.

      Pengaturan mengenai hak prioritas pendaftaran hak atas tanah negara yang berasal
      dari tanah hak tersebut dapat ditemui dalam ketentuan Pasal 25 ayat (2) PP No.
      40/1996 jo. Pasal 42 Permen Agraria No. 9/1999 yang mengatur bahwa “Sesudah
      jangka waktu Hak Guna Bangunan dan perpanjangannya sebagaimana
      dimaksud dalam ayat (1) berakhir, kepada bekas pemegang hak dapat
      diberikan pembaharuan Hak Guna Bangunan di atas tanah yang
      sama”.

      Ketentuan mengenai hak prioritas tersebut diatur lebih lanjut dalam Pasal 24 PP
      No. 24/1997 yang secara rinci mengatur sebagai berikut,
      (1) Untuk keperlun pendaftaran hak, hak atas tanah yang berasal dari
      konversi hak-hak lama dibuktikan dengan alat-alat bukti mengenai
      adanya hak tersebut berupa bukti-bukti tertulis, keterangan saksi,
      dan/ atau pernyataan yang bersangkutan yang kadar kebenarannya
      oleh Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik
      atau oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah
      secara sporadic, dianggap cukup untuk mendaftar hak, pemegang
      hak dan hak-hak pihak lain yang membebaninya.
      (2) Dalam hal tidak atau tidak lagi tersedia secara lengkap alat-alat
      pembuktian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pembukuan hak
      dapat dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan fisik bidang
      tanah yang bersangkutan selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih
      secara berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dan pendahulu-
      pendahulunya, dengan syarat:
      a. Penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara
      terbuka oleh yang bersangkutan sebagai yang berhak atas
      tanah, serta diperkuat oleh kesaksian orang yang dapat
      dipercaya;
      b. Penguasan tersebut baik sebelum maupun selama
      pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 tidak
      dipermasalahkan oleh masyarakat umum adat atau desa/
      kelurahan yang bersangkutan ataupun pihak lainnya.

      Lebih lanjut lagi, dalam Penjelasan Pasal 24 ayat (2) PP No. 24/1997 ditegaskan
      bahwa “Ketentuan ini memberi jalan keluar apabila pemegang hak tidak dapat
      menyediakan bukti kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) baik yang
      berupa bukti tertulis maupun bentuk lain yang dapat dipercaya. Dalam hal
      demikian pembukuan hak dapat dilakukan tidak berdasarkan bukti kepemilikan
      akan tetapi berdasarkan bukti penguasaan fisik yang telah dilakukan oleh
      pemohon dan pendahulunya”.
      Merujuk pada ketentuan Pasal 24 PP No. 24/1997 berikut penjelasannya tersebut,
      dapat diketahui bahwa secara yuridis, dalam hal bekas pemegang hak tidak dapat
      menyediakan alat bukti kepemilikan, maka pihak yang dianggap berhak atau
      memiliki prioritas untuk mengajukan permohonan pendaftaran hak atas tanah
      adalah pihak yang secara fisik menguasai tanah tersebut sekurang-kurangnya
      selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih, dimana tidak terdapat pihak yang
      mengajukan keberatan terhadap penguasaan fisik tersebut.

      Merujuk pada ketentuan tersebut, maka penguasaan tanah oleh masyarakat yang dilakukan sebelum berakhirnya HGB tidak dapat dianggap sebagai penguasaan yang beritikad baik. Sehingga penguasaan tersebut tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 PP No. 24/1997. Oleh karenanya, tentunya dalam Hal ini pihak yang berhak atas Hal prioritas pendaftaran tanah tersebut adalah pemegang hak lama.

      Untuk menegaskan Hal tersebut, pertama-tama perlu diajukan Gugatan kepemilikan hak prioritas ke pengadilan setempat selanjutnya putusan pengadilan tersebut dapat menjadi dasar pengajuan pendaftaran hak atas tanah.

      Semoga jawaban ini dapat membantu.

      Hapus
  4. Nama saya Agus,

    Saya memiliki unit toko di plasa simpang lima semarang, hgb strata title diatas HPL milik Pemkot berakhir maret 2019,pihak Pemkot tdk mau perpanjang HGB karena terbentur PP no.27 th 2014 jadi akan dikenakan sewa lahan yg nilainya sangat tingggi sekali.Dlm perjanjian antara Developer dg Pemkot pd th 1997 ada klausul yg menyatakan bahwa setelah HGB berakhir maka tanah dan bangunan diatasnya menjadi milik Pemkot.Pemilik toko dapat memperpanjang hak pakai sesuai peraturan perundangan yang berlaku. Dikarenakan terbit PP no.27 th 2014 maka Pemkot tidak bersedia memberikan perpanjangan.Bagaimana dg nasib semua pemilik Apartemen atau Ruangan komersial strata title diatas HPL tanah negara/tanah Pemda/Pemkot kalau tdk bisa diperpanjang akibat PP no.27 th 2024 tsb ya bu.Mhn pencerahannya.
    Terima kasih.
    Agus

    BalasHapus
    Balasan
    1. Maaf jika pertanyaan saudara baru saya jawab.

      Secara yuridis, Pemkot sebagai pemilik HPL memang memiliki hak dan kewenangan untuk memutuskan apakah memberikan perpanjangan jangka waktu HGB di atas HPL atau tidak. Dalam hal perpanjangan jangka waktu HGB tidak diberikan, maka demi hukum dengan lewatnya jangka waktu HGB, HGB tersebut menjadi hapus.

      Sebelumnya perlu saya informasikan, penguasaan satuan rumah susun di atas tanah barang milik daerah tidak dapat dipersamakan dengan penguasaan satuan rumah susun di atas tanah pada umumnya.

      Terhadap satuan rumah susun yang berdiri di atas barang milik daerah berlaku ketentuan Pasal 48 ayat (1) UU No. 20/2011 tentang Rumah Susun yang mengatur "sebagai tanda bukti kepemilikan atas sarusun di atas barang milik negara/daerah
      berupa tanah atau tanah wakaf dengan cara sewa, diterbitkan SKBG sarusun". Merujuk pada ketentuan tersebut, maka tanda bukti kepemilikan satuan rumah susun di atas tanah barang milik daerah berupa SKBG dimana tidak terdapat kepemilikan tanah bersama dalam penguasaan sarusun tersebut, sehingga pemegang SKBG hanya memiliki bangunan gedung di atas tanah barang milik daerah.

      Selanjutnya perlu diketahui pula dalam perjanjian antara developer dan Pemkot terdapat kewajiban developer untuk menyerahkan bangunan sarusun pada saat HGB berakhir?? Apabila Ada, maka bentuk perjanjian antara developer dan Pemkot adalah BOT, sehingga seharusnya developer tidak berhak untuk mengalihkan (menjual) sarusun kepada pihak lain. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 36 ayat (3) huruf c angka 3 PP Nom 27/2014 sebagaimana diatur pula dalam kebiasaan pelakaanaan perjanjian BOT.

      Oleh karenanya, apabila developer mengalihkan sarusan kepada pihak lain, maka pihak lain yang merasa dirugikan dapat mengajukan Gugatan PMH kepada developer dan menuntut pengembalian harga beli setwlah dikurangi biaya sewa bangunan selama ini.

      Namun apabila perjanjian antara developer dan Pemkot adalah perjanjian sewa, maka pemilik SKBG dapat mengajukan opsi-opsi ganti rugi bangunan dll kepada Pemkot atas bangunan sarusun yang dimiliki.

      Terhadap PP No. 27/2014 memang menggariskan bahwa terhadap aset Pemkot berupa tanah dan/ atau bangunan tanpa adanya pembangunan dilakukan dengan sistem sewa (tarif ditetapkan pengelola barang) atau pinjam pakai.

      Semoga jawaban ini dapat membantu.

      Hapus
    2. Saya tambahkan, agar lebih jelas.

      Apabila perjanjian antara developer dan Pemkot dalam bentuk BOT maka status bangunan adalah milik Pemkot, sehingga Pemkot berhak untuk menarik tarif sewa. Oleh karenanya pemilik SKBG yang merasa dirugikan dapat menggugat developer.

      Sedangkan apabila perjanjian antara developer dan Pemkot adalah perjanjian sewa atau perjanjian pemanfaatan tanah, maka bangunan adalah milik pemilik SKBG, sehingga pemilik SKBG berhak mengajukan ganti rugi atas bangunan tersebut kepada Pemkot.

      Hapus
    3. Selamat siang,
      Saya beli toko di Plasa Simpang Lima tersebut seharga Rp.230 JUTA (tidak termasuk pajak BPHTB dan BIAYA BALIK NAMA SERTIFIKAT di BPN dan Biaya NOTARIS) dari Pemilik tangan kedua berdasarkan dokumen kepemilikan berupa SERTIFIKAT HAK MILIK ATAS SATUAN RUMAH SUSUN yg diterbitkan oleh BPN KODYA SEMARANG dan Sudah BALIK NAMA atas NAMA SAYA dengan MEMBAYAR BPHTB sebesar Rp.15.973.700,- (th 2012 NJOPnya= Rp.379.474.000) ke PEMKOT SEMARANG, Jadi sy merasa TERTIPU dengan adanya SERTIFIKAT HAK MILIK dan pembayaran BPHTB tersebut.
      Dalam kasus saya ini sy harus menuntut ganti rugi kemana pak?
      Ada yg bisa bantu saya untuk menuntut kerugian saya tersebut dengan sistem Sukses Fee secara prosentase ga pak?
      Kalau ada info silahkan kontak sy atau DM via WA sy no.08156569381.
      Tmksh.
      Agus

      Hapus
  5. saya ingin bertanya, bila gedung dibnagun d atas tanah dan sudah memilki hak sewa, lalu hak sewanya sudah habis/expired, lalu status gedung itu jatuh ketangan siapa?
    dlam perjanjian tidak dibuat klausula tentang itu, mka harus bagaimana?
    dan apa dsara hkumnya?
    terima kasih

    BalasHapus
  6. Maaf jika pertanyaan saudara terlalu lama saya jawab. Untuk lebih cepatnya dapat berkonsultasi melalui e-mail kami di lawfirmkjd@gmail.com.

    Pertama perlu diketahui terlebih dahulu apakah pihak-pihaknya masih sama? Pemilik tanah dan penyewa (pemilik gedung) atau sudah ada peralihan? Apakah pihak-pihaknya diketahui keberadaannya?

    Apabila semua pihaknya diketahui, selanjutnya perlu dilakukan negosiasi antar para pihak mengenai status bangunan tersebut, mengingat sampai dengan saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang secara spesifik mengatur mengenai status bangunan yang beridiri di atas tanah pihak lain pada saat perjanjian sewa berakhir.

    Dalam negosiasi tersebut dapat diajukan opsi:
    1. Pemilik tanah berhak membeli bangunan sesuai harga pasar (penilaian appraisal);
    2. Pemilik tanah berhak memiliki bangunan;
    3. Pemilik bangunan wajib membongkar bangunan tersebut; atau
    4. Pemilik tanah berhak membongkar bangunan tersebut dengan beban biaya ditanggung oleh pemilik bangunan;
    Atau opsi lain yang disepakati oleh para pihak.

    Dalam hal tidak terjadi kesepakatan dalam negosiasi tersebut, maka dapat diajukan somasi untuk kemudian diajukan ke pengadilan. Hakim yang akan menilai bagaimana penyelesaian terbaik bagi para pihak.

    BalasHapus