Forum rei sitae is an embodiment of the jurisdiction in rem, that is the
state control over fixed objects or immovable property which is located
in the state’s territory. It has became a habit and jurisprudence in
Indonesia that the lawsuit based on tort concerning a dispute over fixed
objects, such as land and buildings, submitted to the court whose
jurisdiction covers the location of immovable property, based on forum
rei sitae as stipulated in Article 118 paragraph (3) Het Herziene
Inlandsh Reglement (HIR). However, the truth of that customs and
jurisprudence is still questionable. For this reason, this paper seeks
to elaborate on whether the forum rei sitae may be applied in a lawsuit
based on tort, using statute approach, conceptual approach and take some
decision of the judiciary from Indonesian and foreign to strengthen
the argument of this paper. Lawsuit based on tort is lead to
jurisdiction in personam, while forum rei sitae used in jurisdiction in
rem; therefore, the application of forum rei sitae in lawsuit based on
tort cannot be justified.
Hukum Acara Perdata (HAPER) telah lama dikenal di Indonesia sejak jaman hingga Belanda dengan adanya HIR yang diterapkan di wilayah Jawa dan madura dan Rbg yang ditetapkan di wilayah di luar Jawa dan madura. Ketentuan hukum acara perdata dalam menentukan kompetensi relatif atau yurisdiksi pengadilan untuk memeriksa dan memutus suatu perkara diatur dalam Pasal 118 HIR yang pada pokoknya mengatur adanya 4 (empat) dasar yurisdiksi, yakni:
Kompetensi Relatif |
Hukum Acara Perdata (HAPER) telah lama dikenal di Indonesia sejak jaman hingga Belanda dengan adanya HIR yang diterapkan di wilayah Jawa dan madura dan Rbg yang ditetapkan di wilayah di luar Jawa dan madura. Ketentuan hukum acara perdata dalam menentukan kompetensi relatif atau yurisdiksi pengadilan untuk memeriksa dan memutus suatu perkara diatur dalam Pasal 118 HIR yang pada pokoknya mengatur adanya 4 (empat) dasar yurisdiksi, yakni:
- Ayat (1) yang mengatur yurisdiksi pengadilan di tempat tergugat atau dikenal sebagai forum rei yang telah dikenal secara universal sebagai prinsip utama dalam menentukan yurisdiksi pengadilan.
- Ayat (2) yang mengatur yurisdiksi pengadilan apabila terdapat lebih dari satu tergugat atau dikenal sebagai forum connecsitatis, dimana apabila terdapat lebih dari satu tergugat, maka penggugat dapat memilih untuk mengajukan gugatan di pengadilan yang meliputi wilayah dari salah satu tergugat. Akan tetapi, apabila terdapat lebih dari satu tergugat, namun salah satu dari tergugat tersebut memiliki koneksi atau kedudukan yang lebih penting dalam perkara tersebut daripada tergugat yang lain, maka penggugat mengajukan gugatan pada pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi wilayah tergugat yang lebih dekat hubungannya dengan penggugat. Semisal dalam perjanjian hutang piutang dan debitur wanprestasi, dimana dalam perjanjian tersebut diakomodir pula adanya perjanjian penanggungan oleh penanggung (borg), maka hubungan hukum yang paling dekat dengan penggugat adalah debitur, bukan penanggung, sehingga sudah sepatutnya gugatan diajukan kepada pengadilan di wilayah debitur.
- Ayat (3) yang mengatur mengenai yurisdiksi pengadilan apabila perkara yang terjadi adalah sengketa mengenai suatu benda tidak bergerak, maka gugatan diajukan pada pengadilan yang meliputi wilayah hukum benda tidak bergerak tersebut (site) yang dikenal dengan forum rei sitae.
- Ayat (4) yang mengatur mengenai yurisdiksi pengadilan berdasarkan kesepakatan dari para pihak yang telah disepakati dalam suatu perjanjian yang dipersengketakan, yang dikenal dengan forum selectionis.
Secara teoritis, yurisdiksi pengadilan dibedakan menjadi yurisdiksi in personam dan yurisdiksi in rem berdasarkan hal yang dituju dari suatu gugatan. Yurisdiksi in personam, umumnya dianggap sebagai yurisdiksi tidak terbatas (unlimited jurisdiction) karena pengadilan yang memiliki yurisdiksi atas orang (persons), khususnya “seorang tergugat”, maka pengadilan tersebut akan dianggap memiliki kewenangan untuk memutus perkara atas tergugat itu untuk jumlah yang tidak terbatas dan menyangkut seluruh aset miliknya. Sedangkan yurisdiksi in rem adalah yurisdiksi atas benda (things/ res) yang berada di wilayah hukum suatu pengadilan, yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan perkara yang sedang dihadapi. Dengan kata lain, pengadilan yang memiliki kewenangan yurisdiksi in rem, memiliki kewenangan untuk mengadili sengketa-sengketa yang berkaitan dengan kepemilikan (title) atas benda-benda tertentu yang berada di wilayah hukumnya.
Forum rei sitae sendiri adalah prinsip berdasarkan minimum contacts dan prinsip teritorial yang memberikan yurisdiksi kepada pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi tempat atau situs benda tidak bergerak yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan perkara yang sedang dihadapi untuk menentukan status kepemilikan benda tersebut. Umumnya, kewenangan pengadilan dalam menerapkan forum rei sitae terbatas untuk mengadili perkara yang berkenaan dengan benda-benda tetap yang terkait dengan perkara dan berada di wilayahnya. Sehingga, forum rei sitae merupakan bentuk pelaksanaan dari yurisdiksi in rem, yakni yurisdiksi atas benda-benda, bukan terhadap orang atau person, karena keputusan yang didasarkan pada yurisdiksi in rem tidak memaksa seseorang untuk melakukan suatu tindakan karena yang diadili bukan orangnya, melainkan ditujukan untuk menegaskan dan mengembalikan kepemilikan atas suatu kebendaan kepada pihak yang berhak.
Hal inilah kemudian yang menjadi permasalahan, dimana dalam praktiknya, forum rei sitae yang diatur dalam Pasal 118 ayat (3) HIR tidak hanya diterapkan pada gugatan atas hubungan kontraktual saja, melainkan juga dalam gugatan atas dasar perbuatan melanggar hukum. Sedangkan secara teoritis, penerapan forum rei sitae terhadap gugatan berdasarkan perbuatan melanggar hukum tidak dapat dibenarkan, karena dalam sistem BW, terdapat pelbagai macam gugatan yang antara satu dengan lainnya tidak boleh dicampuradukkan. Pasal 102 Rv membedakan gugatan menjadi tiga macam, yakni gugatan yang bersifat perorangan (persoonlijke rechtsvordering), gugatan yang bersifat kebendaan (zakelijke rechtsvordering) dan gugatan yang bersifat campuran (gemengde rechtsvordering). Gugatan yang bersifat perorangan adalah gugatan yang didasarkan atas suatu perikatan (verbintenis) baik yang bersumber dari perjanjian maupun yang bersumber dari peraturan perundang-undangan. Tujuan dari gugatan yang bersifat perorangan ini adalah untuk meminta pertanggungjawaban dari seseorang, sehingga gugatan ini berusaha mengadili orang tersebut untuk diwajibkan melakukan suatu tindakan. Dengan demikian, gugatan yang bersifat perorangan ini diajukan ke pengadilan yang memiliki yurisdiksi in personam atas diri tergugat.
Sedangkan, gugatan yang bersifat kebendaan adalah gugatan yang menuntut penyerahan suatu barang harta benda berdasarkan hak milik (eigendomsrecht/ ownership) beserta hak-hak turunannya, seperti hak guna usaha (erpacht), hak guna bangunan (opstal), dan lain-lain, atau hak-hak kebendaan lain (andere zakelijke rechten), seperti hak menguasai (bezit) atau hak jaminan kebendaan (zakelijk zekerheid rechten). Dengan demikian, gugatan yang bersifat kebendaan ini tidak bertujuan mengadili seseorang, melainkan hanya menegaskan dan mengembalikan hak seseorang atas suatu kebendaan. Sehingga gugatan yang bersifat kebendaan ini seharusnya diajukan kepada pengadilan yang memiliki yurisdiksi in rem atas kebendaan tersebut.
Selanjutnya, gugatan yang bersifat campuran adalah gugatan yang bersifat campuran dari tuntutan perorangan (personlijk) dengan kebendaan (zakelijk). Pasal 102 Rv hanya mengatur empat macam gugatan yang bersifat campuran, yaitu: 1) gugatan untuk mendapatkan warisan sebagaimana diatur dalam Pasal 834 BW; 2) gugatan untuk pemisahan harta warisan (boedelscheiding) dalam Pasal 1066 BW; 3) gugatan untuk pembagian harta benda (deling van gemeenschap) dalam Pasal 128, Pasal 573 dan Pasal 1652 BW; dan 4) gugatan untuk memberi batas antara dua bidang tanah yang berdampingan di dalam Pasal 642, Pasal 643, Pasal 630 BW dan seterusnya.
Dalam hal ini, gugatan berdasarkan perbuatan melanggar hukum termasuk golongan gugatan yang bersifat perorangan karena didasarkan atas perikatan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan, khususnya Pasal 1365 BW dan seterusnya. Sedangkan pelaksanaan forum rei sitae merupakan pengaplikasian yurisdiksi in rem sebagai sarana dalam mengajukan gugatan yang bersifat kebendaan, khususnya terhadap hak kebendaan atas benda-benda tidak bergerak. Sehingga pada dasarnya penerapan forum rei sitae terhadap gugatan berdasarkan perbuatan melanggar hukum yang melibatkan kebendaan tetap sebagai objek sengketa tidak dapat dibenarkan menurut hukum walaupun berdasarkan Pasal 118 ayat (3) HIR, hal tersebut seolah-olah dapat dilakukan, karena, berdasarkan teori yang ada, forum rei sitae merupakan penerapan dari yurisdiksi in rem, sedangkan gugatan atas dasar perbuatan melanggar hukum merupakan gugatan yang bersifat in personam, yang mana antara keduanya tidak dapat saling dicampuradukkan.
Terhadap permasalahan tersebut, praktik internasional telah mengenal penerapan forum delicti commissi terhadap perkara-perkara gugatan atas dasar perbuatan melanggar hukum yang menggantikan penerapan forum rei sitae, dimana forum delicti commissi tetap bertitik tolok pada letak situs dari kebendaan tetap, namun situs tersebut dianggap sebagai tempat terjadinya perbuatan melanggar hukum. Hal demikian belum ditemui di Indonesia, baik dalam peraturan perundang-undangan maupun dalam praktik badan peradilan.
Forum rei sitae sendiri adalah prinsip berdasarkan minimum contacts dan prinsip teritorial yang memberikan yurisdiksi kepada pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi tempat atau situs benda tidak bergerak yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan perkara yang sedang dihadapi untuk menentukan status kepemilikan benda tersebut. Umumnya, kewenangan pengadilan dalam menerapkan forum rei sitae terbatas untuk mengadili perkara yang berkenaan dengan benda-benda tetap yang terkait dengan perkara dan berada di wilayahnya. Sehingga, forum rei sitae merupakan bentuk pelaksanaan dari yurisdiksi in rem, yakni yurisdiksi atas benda-benda, bukan terhadap orang atau person, karena keputusan yang didasarkan pada yurisdiksi in rem tidak memaksa seseorang untuk melakukan suatu tindakan karena yang diadili bukan orangnya, melainkan ditujukan untuk menegaskan dan mengembalikan kepemilikan atas suatu kebendaan kepada pihak yang berhak.
Hal inilah kemudian yang menjadi permasalahan, dimana dalam praktiknya, forum rei sitae yang diatur dalam Pasal 118 ayat (3) HIR tidak hanya diterapkan pada gugatan atas hubungan kontraktual saja, melainkan juga dalam gugatan atas dasar perbuatan melanggar hukum. Sedangkan secara teoritis, penerapan forum rei sitae terhadap gugatan berdasarkan perbuatan melanggar hukum tidak dapat dibenarkan, karena dalam sistem BW, terdapat pelbagai macam gugatan yang antara satu dengan lainnya tidak boleh dicampuradukkan. Pasal 102 Rv membedakan gugatan menjadi tiga macam, yakni gugatan yang bersifat perorangan (persoonlijke rechtsvordering), gugatan yang bersifat kebendaan (zakelijke rechtsvordering) dan gugatan yang bersifat campuran (gemengde rechtsvordering). Gugatan yang bersifat perorangan adalah gugatan yang didasarkan atas suatu perikatan (verbintenis) baik yang bersumber dari perjanjian maupun yang bersumber dari peraturan perundang-undangan. Tujuan dari gugatan yang bersifat perorangan ini adalah untuk meminta pertanggungjawaban dari seseorang, sehingga gugatan ini berusaha mengadili orang tersebut untuk diwajibkan melakukan suatu tindakan. Dengan demikian, gugatan yang bersifat perorangan ini diajukan ke pengadilan yang memiliki yurisdiksi in personam atas diri tergugat.
Sedangkan, gugatan yang bersifat kebendaan adalah gugatan yang menuntut penyerahan suatu barang harta benda berdasarkan hak milik (eigendomsrecht/ ownership) beserta hak-hak turunannya, seperti hak guna usaha (erpacht), hak guna bangunan (opstal), dan lain-lain, atau hak-hak kebendaan lain (andere zakelijke rechten), seperti hak menguasai (bezit) atau hak jaminan kebendaan (zakelijk zekerheid rechten). Dengan demikian, gugatan yang bersifat kebendaan ini tidak bertujuan mengadili seseorang, melainkan hanya menegaskan dan mengembalikan hak seseorang atas suatu kebendaan. Sehingga gugatan yang bersifat kebendaan ini seharusnya diajukan kepada pengadilan yang memiliki yurisdiksi in rem atas kebendaan tersebut.
Selanjutnya, gugatan yang bersifat campuran adalah gugatan yang bersifat campuran dari tuntutan perorangan (personlijk) dengan kebendaan (zakelijk). Pasal 102 Rv hanya mengatur empat macam gugatan yang bersifat campuran, yaitu: 1) gugatan untuk mendapatkan warisan sebagaimana diatur dalam Pasal 834 BW; 2) gugatan untuk pemisahan harta warisan (boedelscheiding) dalam Pasal 1066 BW; 3) gugatan untuk pembagian harta benda (deling van gemeenschap) dalam Pasal 128, Pasal 573 dan Pasal 1652 BW; dan 4) gugatan untuk memberi batas antara dua bidang tanah yang berdampingan di dalam Pasal 642, Pasal 643, Pasal 630 BW dan seterusnya.
Dalam hal ini, gugatan berdasarkan perbuatan melanggar hukum termasuk golongan gugatan yang bersifat perorangan karena didasarkan atas perikatan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan, khususnya Pasal 1365 BW dan seterusnya. Sedangkan pelaksanaan forum rei sitae merupakan pengaplikasian yurisdiksi in rem sebagai sarana dalam mengajukan gugatan yang bersifat kebendaan, khususnya terhadap hak kebendaan atas benda-benda tidak bergerak. Sehingga pada dasarnya penerapan forum rei sitae terhadap gugatan berdasarkan perbuatan melanggar hukum yang melibatkan kebendaan tetap sebagai objek sengketa tidak dapat dibenarkan menurut hukum walaupun berdasarkan Pasal 118 ayat (3) HIR, hal tersebut seolah-olah dapat dilakukan, karena, berdasarkan teori yang ada, forum rei sitae merupakan penerapan dari yurisdiksi in rem, sedangkan gugatan atas dasar perbuatan melanggar hukum merupakan gugatan yang bersifat in personam, yang mana antara keduanya tidak dapat saling dicampuradukkan.
Terhadap permasalahan tersebut, praktik internasional telah mengenal penerapan forum delicti commissi terhadap perkara-perkara gugatan atas dasar perbuatan melanggar hukum yang menggantikan penerapan forum rei sitae, dimana forum delicti commissi tetap bertitik tolok pada letak situs dari kebendaan tetap, namun situs tersebut dianggap sebagai tempat terjadinya perbuatan melanggar hukum. Hal demikian belum ditemui di Indonesia, baik dalam peraturan perundang-undangan maupun dalam praktik badan peradilan.
Telah dipublikasi dalam Jurnal Yuridika, Fakultas Hukum Universitas Airlangga.
Artikel lengkap dapat diunduh di:
http://e-journal.unair.ac.id/index.php/YDK/article/view/379
~igp
Tidak ada komentar:
Posting Komentar