Minggu, 27 Maret 2016

Hukum dan Masyarakat

Hukum dan Masyarakat
Hukum dan Masyarakat

Pemikiran dan pemahaman hukum telah dimulai sejak dikenalnya kelompok (lebih dari seorang manusia) yang diistilahkan dengan 'masyarakat'. Suatu adagium dalam hukum yang dikenal bahkan menyatakan bahwa ubi societas ibi ius yang berarti dimana ada masyarakat, maka di situ pula ada hukum. Hukum dan masyarakat tak ubahnya dengan sekeping mata uang yang tidak terpisahkan. Hukum dalam hal ini tidak hanya dimaksudkan pada istilah 'hukum' yang digunakan dalam aliran legisme, yakni hukum dalam arti hukum positif atau hukum yang diundangkan atau dilembagakan oleh instansi yang berwenang saja, melainkan hukum dalam artian yang luas, yakni seperangkat aturan positif yang tertulis dan seperangkat aturan tidak tertulis lainnya yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat, di antaranya aturan adat, aturan islam, aturan kesopanan, dan aturan kesusilaan.


Dewasa ini, Indonesia sebagai salah satu negara yang menganut  civil law system, benar-benar berusaha mengakomodir aturan-aturan tidak tertulis untuk dilembagakan dalam suatu hukum positif. Hal ini merupakan konsekuensi dari ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang menyatakan bahwa "Negara Indonesia adalah negara hukum" yang kemudian ditindaklanjuti dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang mengatur hirarki peraturan perundang-undangan di Indonesia dan substansi masing-masing peraturan. Namun demikian, sebagaimana telah menjadi pemikiran para filsuf bahwa kehadiran hukum yang dibakukan dalam suatu produk tertulis akan mengalami fase dimana hukum berada di belakang perkembangan masyarakat. Hal inilah yang saat ini tengah terjadi di Indonesia, dimana bagaimana suatu peraturan perundang-undangan, bahkan yang baru diundangkan kerap tidak sesuai dengan cita dan perkembangan masyarakat yang diaturnya.
Sebagaimana kita amati, semisal dalam pengundangan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang baru sekejap mata sudah mengalami perubahan melalui Perpu yang kemudian diundangkan dalam suatu Undang-Undang. Hal tersebut seharusnya menimbulkan pertanyaan bagaimana suatu hukum yang seharusnya mengatur masyarakat justru berada satu langkah di belakang perkembangan masyarakatnya? Padahal hukum seharusnya dapat mengakomodir perkembangan masyarakat dan menjadi pemandu serta pedoman masyarakat dalam kehidupan sehari-harinya. Apakah hukum yang demikian telah mengarah pada tujuan hukum itu sendiri? Tujuan keadilan, kepastian dan kemanfaatan.
Di sinilah peran dari hukum tidak tertulis dalam memberikan  kepastian, keadilan dan kemanfaatan bagi pencari keadilan. Hakim tidak lagi menjadi corong Undang-Undang melainkan hakim wajib menggali nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Hal ini juga telah ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 40 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Oleh karena itulah hakim dikenal sebagai amiable compositor yang memiliki jiwa luhur untuk menangkap nilai-nilai kebajikan dalam masyarakat yang belum diakomodir dalam peraturan perundang-undangan.
Apa, mengapa dan bagaimana suatu hukum tidak tertulis itu berlaku dapat dipahami dari sejarah awal mula lahirnya hukum itu sendiri.
Secara sadar maupun tidak sadar, perilaku setiap manusia tunduk pada suatu aturan. Aturan tersebut merupakan pertimbangan dan pemikiran masing-masing manusia mengenai apa yang baik dan apa yang buruk yang dikenal dengan istilah nilai. Nilai merupakan suatu pemberian (give) dari Tuhan bagi manusia untuk menilai apa yg baik dan apa yang buruk baginya.
Dalam kehidupan keseharian manusia itu kemudian saling melakukan interaksi dengan manusia lainnya, yang memiliki takaran nilai yang berbeda antara mereka. Namun di antara perbedaan tersebut tetap ada nilai-nilai yang sama yang dianut oleh kelompok manusia tersebut. Nilai-nilai yang diyakini dan dianut oleh kelompok manusia tersebut inilah yang dikenal sebagai moral. Moral suatu kelompok masyarakat ini dapat saja berbeda dengan moral yang diamini oleh masyarakat lainnya. Sehingga dalam tataran moral, tidak bersifat universal.
Moral tersebut kemudian mengarah daging dalam masyarakat tersebut dan kemudian menjadi suatu sistem yang dikenal dalam ilmu sosial dengan istilah norma dan terdiri dari norma hukum, norma agama, norma kesusilaan, dan norma kesopanan. Akan tetapi, dalam hukum, istilah norma tidak ditujukan pada moral, melainkan norma adalah suatu ketentuan yang sudah memuat salah satu unsur perintah, larangan, izin atau dispensation. Sehingga muatan norma adalah moral, namun dibentuk dalam unsur perintah, larangan, izin atau dispensasi.
Norma-norma inilah yang kemudian menjadi pedoman bagi perilaku masyarakat dan kemudian lebih dikenal dengan istilah aturan (rule). Aturan ini kemudian dikategorikan dalam bentuk tertulis dan tidak tertulis. Aturan merupakan aturan tertulis apabila ia diundangkan atau dilembagakan oleh instansi yang berwenang untuk kemudian disahkan sebagai hukum positif. Sedangkan aturan tidak tertulis tetap mengikat dan berkembang dalam masyarakat itu sendiri. Pada tataran aturan ini seharusnya aturan sudah dapat disebut sebagai hukum. Namun kemudian dengan berkembangnya aliran legislatif yang menekankan bahwa hukum  hanyalah aturan yang tertulis, maka dalam praktiknya aturan tidak tertulis kerap dianak titipan dari peristilahan hukum.
Padahal secara faktual, justru aturan tidak tertulis lebih berkembang dan lebih sesuai dengan perkembangan masyarakat karena ia adalah hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat itu sendiri. Pemaparan di atas jelas menegaskan bahwa adagium ubi societas ibi ius dan keberadaan hukum tidak tertulis tidak dapat dikesampingkan dalam kehidupan masyarakat demi tercapainya tujuan hukum itu sendiri.
~igp

Tidak ada komentar:

Posting Komentar