Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015 tentang Gugatan Sederhana sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015 tentang Gugatan Sederhana (Perma No. 4/2019) secara faktual telah mengatur pembatasan upaya hukum yang dapat diajukan oleh pihak yang merasa dirugikan atas tindakan pihak lain, baik tindakan pelanggaran kontrak maupun tindakan hukum, yang nilai tuntutan materiil nya tidak lebih dari Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah).
Terhadap gugatan tersebut, tergolong dalam Gugatan Sederhana (dengan memenuhi syarat-syarat lain sebagaimana diatur dalam Perma No. 4/2019) yang harus diselesaikan melalui prosedur sederhana, yakni diperiksa dan diputus selambat-lambatnya 25 Hari sejak Hari sidang pertama, dengan Hakim tunggal dan hanya Ada Gugatan serta jawaban tanpa ada proses jawab jinawab. Selain itu seluruh bukti diajukan pada saat Gugatan diajukan dan jumlah Penggugat dan Tergugat masing-masing tidak lebih dari satu orang kecuali dengan kepentingan yang sama dan dengan domisili hukum yang sama antara Penggugat atau kuasa Penggugat dan Tergugat.
Selanjutnya, terhadap putusan Hakim atas Gugatan Sederhana tersebut tidak dapat diajukan upaya hukum banding, kasasi maupun peninjauan kembali. Putusan Hakim atas Gugatan Sederhana hanya dapat diajukan upaya berupa keberatan yang diajukan ke pengadilan pemutus perkara, untuk kemudian perkara tersebut diperiksa kembali secara majelis oleh Hakim.
Ketentuan dalam Perma No. 4/2019 tersebut menunjukkan adanya pembatasan terhadap akses menuju Keadilan sebagaimana menjadi hak fundamental setiap warga negara. Pembatasan tersebut baik dari segi nilai Gugatan dan juga upaya hukum terhadap putusan Hakim atas Gugatan Sederhana.
Pancasila dan Konstitusi telah mengatur hak fundamental Akses Menuju Keadilan, khususnya dalam sila kelima Pancasila yang berbunyi "Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia" dan Pasal 27 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDNRI 1945) yang mengatur bahwa “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”; dan juga ketentuan Pasal 38D ayat (1) UUDNRI 1945 yang mengatur bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”.
Ketentuan Pancasila dan Konstitusi tersebut menegaskan bahwa akses menuju Keadilan merupakan hak fundamental bagi setiap warga negara. Keadilan dalam hal ini sesuai dengan pandangan John Rawls yakni Keadilan sebagai mata uang yang di satu sisi menghendaki persamaan namun di sisi lain juga menghendaki perbedaan. Persamaan yang dimaksud adalah kesetaraan perlakuan terhadap setiap pihak dalam mengakses Keadilan melalui lembaga peradilan. Sedangkan perbedaan mengandung makna adanya perbedaan kedudukan ekonomi dan sosial di antara warga negara yang menyebabkan terjadi perbedaan kesempatan untuk memperoleh akses menuju Keadilan. Dalam konstruksi perbedaan inilah pemerintah hadir sebagai regulator untuk memberikan pengaturan sehingga persamaan dapat terwujud diantara perbedaan tersebut. Tentunya dengan memberikan perlakuan yang berbeda dengan mengutamakan pihak yang termaginalkan untuk dapat setara dengan pihak yang secara ekonomi dan sosial di atas rata-rata.
Keberadaan Perma No. 4/2019 yang secara khusus membatasi upaya hukum terhadap perkara dengan nilai Gugatan "kecil" tersebut secara historis sebenarnya bermaksud agar pihak yang secara ekonomi dan sosial kurang beruntung juga dapat memperoleh hak fundamental Akses Menuju Keadilan melalui lembaga peradilan. Dalam artian mereka juga dapat mengajukan Gugatan dengan nilai yang setimpal dengan waktu dan biaya perkara yang harus dikeluarkan.
Namun dalam praktiknya, secara logika dapat dipertanyakan Rakyat yang secara ekonomi dan sosial kurang beruntung apakah menjadi pihak yang memberikan hutang atau yang mendapatkan hutang, dalam artian apakah menjadi pihak Penggugat atau Tergugat?
Tapi semangat untuk menyelesaikan perkara secara sederhana, cepat dan biaya ringan yang diusung dalam Perma No. 4/2019 patut untuk diapresiasi.
Akan tetapi, pengaturan pembatasan hak fundamental Akses Menuju Keadilan sebagaimana diatur dalam Pancasila dan Konstitusi, "Hanya" dalam tataran peraturan lembaga, yakni Perma justru yang melukai Keadilan itu sendiri.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUDNRI 1945, pembatasan hak fundamental hanya dapat diatur dalam Undang-undang, atau setidak-tidaknya Perpu yang materi muatannya setara dengan undang-undang.
Pembatasan peraturan perundang-undangan yang dapat mengatur pembatasan hak fundamental tersebut hanya dapat diatur dalam Undang-undang, bukan tanpa alasan.
Undang-undang merupakan produk hukum yang dibuat oleh eksekutif dalam hal ini presiden bersama dengan legislatif dalam hal ini DPR. Keberadaan DPR dalam proses penyusun, pembentukan dan pengundangan undang-undang tersebut lah yang merepresentasikan andil Rakyat dalam pembentukan undang-undang .Sehingga Rakyat melalui DPR dianggap telah menundukkan diri terhadap ketentuan undang-undang tersebut sebagaimana dikemukakan oleh John Locke sebagai pactum unionis dan pactum subjectionis. Oleh karenanya, materi muatan undang-undang dapat berisi pembatasan hak fundamental Rakyat. Hal ini nampak pula dalam pengaturan sanksi pidana hanya dapat diatur dalam Undang-undang.
Oleh karenanya, keberadaan Perma No. 4/2019 secara substansi pada dasarnya sesuai dengan prinsip Keadilan dan kepastian hukum. Akan tetapi secara formil pengaturannya telah melanggar prinsip Keadilan itu sendiri.
Akan tetapi, sesuai dengan asas presumptio iustie causa, maka sepanjang Perma tersebut belum dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, maka Perma tersebut tetap mengikat.
Oleh sebab itu, perlu dilakukan pengaturan lebih lanjut mengenai Gugatan Sederhana dalam Undang-undang atau Perpu demi tegaknya Keadilan baik substansi maupun formil.
Inspirasi diperoleh dari Liliek Prisbawono Adi (Hakim)
~igp
Tidak ada komentar:
Posting Komentar