Kamis, 02 Maret 2017

Penentuan Kompetensi Relatif (Yurisdiksi Pengadilan yang Berwenang) dalam Permohonan Praperadilan di Indonesia

Praperadilan merupakan suatu upaya yang disediakan oleh hukum sebagai langkah yang dapat ditempuh oleh tersangka dalam hal hak-haknya dalam proses penyelidikan maupun penyidikan tindak pidana diacuhkan oleh penyelidik atau penyidik. Pada awalnya, gugatan praperadilan hanya dapat diajukan terhadap:
  1. sah atau tidaknya suatu penangkapan dan/ atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
  2. sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
  3. permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.  
 
Praperadilan, kompetensi relatif, permohonan
 
Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan ditegaskan kembali dalam Pasal 77 KUHAP yang mengatur bahwa, "Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang: a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan; b. ganti kerugian dan atau rehabilitas; c. bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan". Namun setelah Mahkamah Konstitusi menerbitkan produk putusan Nomor 21/PUU-XII/2014, ruang lingkup praperadilan bertambah menjadi praperadilan atas penetapan sebagai tersangka.
  
Selanjutnya, pihak-pihak yang dapat mengajukan praperadilan juga diatur dalam Pasal 79 sampai dengan Pasal 81 KUHAP, yakni: 
  1. permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya;
  2. permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya;
  3. permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan diajukan oleh tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebut alasannya.
Berkaitan dengan hal tersebut, sebagaimana kita ketahui bahwa ketentuan mengenai praperadilan ini diatur dalam KUHAP termasuk jangka waktu pemeriksaan sampai dengan diterbitkan suatu putusan praperadilan, akan tetapi secara faktual, praktik pelaksanaan praperadilan diajukan dalam bentuk permohonan yang ditujukan kepada penyidik ataupun penuntut umum selaku termohon dengan tata cara persidangan selayaknya persidangan perdata.
 
Hal tersebut menimbulkan pertanyaan terkait penentuan kompetensi relatif pengadilan negeri yang berwenang untuk menerima permohonan praperadilan yang diajukan, mengingat KUHAP tidak mengatur secara spesifik terkait penentuan kompetensi relatif  atas permohonan praperadilan, dimana KUHAP hanya mengatur kompetensi relatif suatu tindak pidana sebagai berikut,
 
Pasal 84
  1. Pengadilan negeri berwenang mengadili segala perkara mengenai tindak pidana yang dilakukan dalam daerah hukumnya.
  2.  Pengadilan negeri yang di dalam daerah hukumnya terdakwa bertempat tinggal, berdiam terakhir, di tempat ia diketemukan atau ditahan, hanya berwenang mengadili perkara terdakwa tersebut, apabila tempat kediaman sebagian besar saksi yang dipanggil lebih dekat pada tempat pengadilan negeri itu daripada tempat kedudukan pengadilan negeri yang di dalam daerahnya tindak pidana itu dilakukan. 
  3. Apabila seorang terdakwa melakukan beberapa tindak pidana dalam daerah hukum pelbagai pengadilan negeri, maka tiap pengadilan negeri itu masing-masing berwenang mengadili perkara pidana itu. 
  4. Terhadap beberapa perkara pidana yang satu sama lain ada sangkut pautnya dan dilakukan oleh seorang dalam daerah hukum pelbagai pengadilan negeri, diadili oleh masing-masing pengadilan negeri dengan ketentuan dibuka kemungkinan penggabungan perkara tersebut. 
Pasal 85
Dalam hal keadaan daerah tidak mengizinkan suatu pengadilan negeri untuk mengadili suatu perkara, maka atas usul ketua pengadilan negeri atau kepala kejaksaan negeri yang bersangkutan, Mahkamah Agung mengusulkan kepada Menteri Kehakiman untuk menetapkan atau menunjuk pengadilan negeri lain daripada yang tersebut pada Pasal 84 untuk mengadili perkara yang dimaksud. 

Pasal 86
Apabila seorang melakukan tindak pidana di luar negeri yang dapat diadili menurut hukum Republik Indonesia, maka Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang berwenang mengadilinya.

Berdasarkan ketentuan Pasal 84, 85 dan 86 KUHAP tersebut dapat diketahui bahwa tolok ukur penentuan kompetensi relatif pengadilan negeri atas suatu perkara tindak pidana adalah locus (tempat kejadian) tindak pidana (forum delicti). Sedangkan proses penangkapan, penahanan maupun penetapan tersangka yang dapat menjadi objek praperadilan tidak selalu terjadi ditempat tindak pidana tersebut dilakukan.  

Hal ini menimbulkan pertanyaan hukum dalam hal locus (tempat kejadian) tindak pidana terjadi berbeda dengan tempat dimana tersangka di tangkap, ditahan atau ditetapkan sebagai tersangka atas tindak pidana tersebut, maka dalam hal tersangka merasa dirugikan atas tindakan penahanan, penangkapan, maupun penetapannya sebagai tersangka, ia harus mengajukan permohonan praperadilan kepada pengadilan negeri tempat kejadian tindak pidana terjadi atau ditempat tindakan penahanan, penangkapan, maupun penetapannya sebagai tersangka yang dianggapnya tidak sah tersebut dilakukan. 

Ataukah kemudian merujuk pada ketentuan hukum acara perdata, khususnya dalam Pasal 118 HIR untuk menentukan kompetensi relatif pengadilan negeri yang berwenang atas permohonan praperadilan tersebut, mengingat sebagian besar hukum acara yang dipergunakan dalam proses pemeriksaan praperadilan menggunakan prosedur dalam hukum acara perdata, yang meliputi proses jawab jinawab dan pembuktian serta kuasa hukum dalam proses persidangan praperadilan tidak mengenakan toga. Hal tersebut belum diatur secara terperinci di dalam KUHAP, padahal hal ini merupakan sesuatu yang esensial sebab dapat berpengaruh pada diterima atau tidaknya suatu permohonan praperadilan. Untuk itu perlu dilakukan penelitian atas permasalahan ini.

~igp

Tidak ada komentar:

Posting Komentar