Beberapa bulan terakhir, kantor sedang menghadapi beberapa perkara perdata yang membuat kami sebagai akademisi sekaligus praktisi menjadi geleng-geleng kepala saat membaca pertimbangan sekaligus putusan Pengadilan Negeri yang tidak sesuai dengan kaidah hukum yang baik dan benar.
Sebagaimana kita ketahui dan pelajari di bangku perkuliahan bahwa terdapat beberapa bentuk putusan hakim, yakni:
- putusan yang mengabulkan gugatan;
- putusan yang menolak gugatan; dan
- putusan yang menyatakan gugatan tidak dapat diterima.
Putusan yang mengabulkan gugatan atau yang menolak gugatan merupakan putusan terhadap pokok perkara, sehingga dalam hal majelis hakim menjatuhkan putusan tersebut dan putusan tersebut telah in kracht atau memiliki kekuatan hukum tetap, maka pihak yang sama tidak dapat mengajukan kembali gugatan dengan objek yang sama ke hadapan pengadilan karena bertentangan dengan asas nebis in idem.
Berbeda dengan putusan hakim yang menyatakan gugatan tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard/NO). Putusan yang menyatakan gugatan tidak dapat diterima merupakan putusan yang tidak bersangkutan dengan pokok perkara, melainkan putusan yang menggugurkan gugatan atas dasar adanya eksepsi dari Tergugat yang dikabulkan oleh Majelis Hakim, atau apabila berkaitan dengan kompetensi absolut pengadilan, maka hakim dapat secara ex officio (berdasarkan kewenangan yang dimilikinya) menyatakan gugatan tidak dapat diterima. Dalam hal putusan menyatakan gugatan tidak diterima ini, maka Penggugat dapat mengajukan kembali gugatan yang sama dengan objek yang sama karena tidak melanggar asas nebis in idem.
Namun demikian, dalam praktiknya kami menemukan beberapa putusan hakim yang menyatakan gugatan tidak dapat diterima, tanpa adanya eksepsi dari Tergugat yang dinyatakan diterima oleh Majelis Hakim, dan dasar majelis hakim menyatakan gugatan tidak diterima bukan atas dasar kompetensi absolut. Sehingga amar putusan hakim dalam eksepsi menyatakan menolak eksepsi dari Tergugat dan dalam pokok perkara menyatakan gugatan tidak dapat diterima. Putusan tersebut di antaranya adalah sebagai berikut:
- Putusan Pengadilan Negeri Kediri Nomor 61/Pdt.G/2016/PN.Kdr tanggal 4 Mei 2017; dan
- Putusan Pengadilan Negeri Slawi Nomor 7/Pdt.G/2017/PN.Slw tanggal 13 Juni 2017.
Putusan tersebut jelas tidak dapat dibenarkan, mengingat dalam pertimbangan hakim kedua putusan tersebut, Majelis Hakim secara ex officio mencari kesalahan-kesalahan yang ada dalam gugatan Penggugat (padahal asas dalam hukum acara perdata adalah hakim bersifat pasif), hingga akhirnya majelis hakim secara ex officio menyatakan gugatan tidak dapat diterima walaupun tidak ada eksepsi dari Tergugat yang dikabulkan oleh Majelis Hakim.
Hal ini semoga menjadi masukan dan kritik yang membangun bagi Majelis Hakim di Pengadilan Negeri manapun juga demi memberikan keadilan bagi para pihak yang mencari keadilan.
˜igp
Banyak hal yang perlu didiskusikan terkait penyimpangan terhadap ketentuan bahwa eksepsi selain kewenangan harus diputus bersama-sama dengan putusan atas pokok perkara. Penjatuhan putusan NO lebih awal, baik mengenai suatu alasan di luar kewenangan dan juga tanpa ada eksepsi dalam praktik sangat banyak dijumpai. Cari 50 perkara gak sulit. Contoh kecil, surat gugatan dibuat dan ditandatangani kuasa mendahului surat kuasanya. Atau, surat gugatan dibuat dan ditandatangani oleh kuasa hukum, padahal surat kuasanya masih berupa surat kuasa umum, bukan surat kuasa khusus. Banyak lagi contoh lain.
BalasHapusSepanjang putusan NO diberikan berkaitan dengan hal-hal yang bersifat formil dan belum masuk pokok perkara seharusnya memang bisa diputus di awal. Apabila memang mengupayakan prinsip peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan. Akan tetapi apabila merujuk pada hukum acara, secara rigid tidak membuka peluang tersebut. Adanya fakta banyak putusan Hakim yang dapat memutus eksepsi non substansiil di awal menunjukkan Hakim telah melakukan rechtvoorming atau pembentukan hukum demi mewujudkan peradilan sederhana cepat dan biaya ringan tersebut.
BalasHapus